Kata kata “baligh” berasal dari bahasa Arab yang artinya sampai, mengenai sasaran, atau mencapai tujuan. Kata ini menjadi salah satu standard etik dalam komunikasi. Jika dikaitkan dengan kata ucapan atau komunikasi, kata baligh berarti fasih, jelas maknanya, tepat mengungkapkan apa yang dikehendaki dan terang. Ada juga yang mengartikan sebagai perkataan yang membekas di jiwa.
Firman Allah yang mengandung kata tersebut terdapat dalam QS An-Nisa ayat 63:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang mengetahui apa yang di dala hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dar mereka dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (QS. An-Nisa[4]: 63)
Apabila dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, qaulan baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Konsep ini menekankan pentingnya menggunakan kata-kata yang tepat dan tepat guna dalam berkomunikasi. Ini berarti bahwa kita harus menggunakan kata-kata yang tepat dan tepat guna untuk menyampaikan pesan kita dengan benar.
Qaulan baligha terjadi bila komunikator menyesuaikan pembicaraan dengan sifat-sifat komunikan. Dalam istilah al-Quran: ia berbicara fi anfusihim (tentang diri mereka), dan dalam istilah sunnah: berkomunikasilah kamu sesuai dengan kadar akal.
Jalaluddin Rahmat membagikan pengertian qaulan Baligha menjadi dua kategori. Pertama, qaulan baligha terjadi ketika komunikator menyesuaikan pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya. Dalam istilah as-Sunnah, “berkomunikasilah kamu sesuai dengan kadar akal mereka”. Kedua qaulan baligha terjadi apabila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
Dari sedikit penjelasan diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa hendaknya si komunikator ini memiliki pemahaman yang luas sehingga ia bisa menyesuaikan dengan si komunikan sehingga tidak terjadinya miss komunikasi. Dalam berkomunikasi, ada rambu-rambu yang perlu juga dijaga, yakni komunikator hendaknya tidak membahas tentang diri mereka masing-masing secara berlebihan agar tidak terjadinya kesalahpahaman satu sama lain yang bisa menyebabkan perpecahan, adu cekcok antar komunikator dan komunikan atau bahkan sampai ke titik perkelahian.
Sebab itu, penting bagi kita semua untuk memegang prinsip qaulan baligha dan mempraktikannya dalam kehidupan. Akan tetapi, komunikasi dengan lisan secara langsung dan komunikasi dengan tulisan atau simbol memiliki gaya tersendiri sehingga perlunya kita mengatahui pula kedua pola tersebut. Komunikasi secara lisan lebih mudah dimengerti maksudnya tetapi komunikasi secara tulisan, terkadang bisa disalah pahami.
Misalnya, ketika berkomunikasi melalui aplikasi chating seperti WhatsApp, maka cara membaca pesan itu bisa tidak sama dengan cara membaca yang mengirimkan pesat. Dengan kalimat yang sama, bisa diartikan berbeda karena beda cara baca. Karena itu, perlu juga untuk pelajari dan dipahami bersama tentang cara berkomunikasi digital dengan prinsip qaulan baligha ini.[]
*Dzul Hidayatullah
Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau