
KUTIPAN – Setiap konflik, sebesar atau sekecil apa pun, selalu menyimpan potensi berubah jadi pidana. Terlebih jika sudah melibatkan emosi, ego, dan—dalam kasus ini—parang.
Konflik lahan yang terjadi di Desa Tinjul, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, kini tidak lagi sekadar perkara sengketa antara dua pihak. Polisi sudah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Dan yang jadi sorotan, bukan cuma soal mereka kini meringkuk dalam tahanan, tapi juga ancaman hukuman penjara yang tak main-main.
Kapolres Lingga, AKBP Pahala Martua Nababan, menyebutkan bahwa masing-masing tersangka dijerat pasal berbeda sesuai tindakan mereka di lokasi kejadian.
“Ancaman pidananya maksimal 12 tahun untuk membawa senjata tajam, ada juga yang kita kenakan pengrusakan terhadap lahan kelapa sawit itu ancamannya 5 tahun 6 bulan, dan pengancaman, ancamannya 1 tahun penjara,” tegas AKBP Pahala pada Rabu 7 Mei 2025.
Coba bayangkan. Dari konflik yang awalnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan mediasi, malah berujung ancaman belasan tahun di balik jeruji. Apa sebabnya? Karena satu pihak merasa terlalu yakin, dan pihak lain terlalu sabar hingga akhirnya melapor.
Empat tersangka, salah satunya berinisial M, disebut mendatangi lahan milik Amren dan Abu Bakar. Mereka datang bukan dengan surat mediasi, tapi dengan tindakan yang bikin geleng kepala: membawa parang, mencabut puluhan pohon kelapa sawit, dan melakukan pengancaman, keempat tersangka ini kata AKBP Pahala punya peran masing-masing dan dikenakan ancamannya pun beda-beda.

Semua aksi itu terekam dalam video yang sempat viral, tersebar luas kemana-mana. Mereka kini harus menghadapi konsekuensi hukum, yang kalau dikalkulasi secara kasar, bisa menghapus masa produktif belasan tahun ke depan. Ancaman hukuman 12 tahun penjara bukan perkara remeh. Itu setara menyelesaikan dua kali masa studi S1.
Konflik ini sendiri sudah berlarut sejak beberapa waktu lalu. Amren dan Abu Bakar, pemilik lahan yang merasa haknya dilanggar, sebelumnya sudah mencoba jalur damai. Dari tingkat desa hingga ke Polsek Singkep Barat.
“Kami sudah mediasi, bahkan di kantor polisi. Tapi dia tetap bersikeras. Padahal yang dia beli itu bukan dari pemilik lahan, tapi hanya penjaga, yang tak punya selembar pun bukti kepemilikan,” jelas Amren usai melaporkan kejadian itu ke Polres Lingga pad Senin 21 April 2025.
Tawaran damai secara kekeluargaan bahkan sempat diajukan, dengan harapan hubungan tetap baik. Tapi entah kenapa, upaya itu malah dibalas dengan kekerasan simbolik: sawit dicabut, lahan dirusak, dan muncul pengancaman, pakai bawa parang juga
Agustinus, SH, MH, kuasa hukum dari pelapor, menyatakan bahwa jalur damai kini telah tertutup rapat. “Kami membuat laporan ke Polres terkait dugaan pengancaman, pengrusakan, dan masuk tanpa izin ke lahan orang lain. Pemeriksaan tadi berlangsung dari jam 10 pagi hingga pukul 16.45 WIB,” katanya kala itu bersama Amren dan Abu.
Kapolres juga menyampaikan bahwa proses penangkapan berjalan tanpa perlawanan. “Saudara-saudara kita yang kita jadikan tersangka sangat kooperatif,” ujarnya. Tapi sekooperatif apa pun, pasal tetap berjalan. Karena dalam hukum pidana, perbuatan yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan oleh sikap manis di belakang hari.
Kasus ini menyimpan pesan penting: konflik lahan, sesulit apa pun, sebaiknya diselesaikan dengan akal sehat, bukan otot atau senjata tajam. Karena setelah satu tindakan lepas kendali, hukum akan mengambil alih. Dan hukum tak kenal kompromi.
Bisa jadi, niat datang hanya untuk menunjukkan kuasa. Tapi pulangnya malah dijemput proses hukum. Itulah risiko ketika emosi lebih tinggi dari logika.
Laporan: Yuanda Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.