
Di kota kecil bernama Dabo Singkep, Lingga—yang dulunya dikenal sebagai penghasil timah dan kini lebih sering disebut dengan julukan “Bunda Tanah Melayu”—terdapat sebuah kedai kopi yang justru lebih terkenal bukan karena kopinya. Ironis? Tentu. Tapi siapa peduli, karena yang jadi bintang sesungguhnya di kedai ini adalah roti bakar isi selai srikaya yang konon kabarnya bisa bikin orang rela bangun lebih pagi dari ayam tetangga.
Namanya Kedai Kopi Sudi Mampir Atoi. Nama yang terdengar sopan dan ramah, seolah-olah pengunjung itu sahabat lama yang selalu ditunggu-tunggu. Tapi begitu datang ke sana, jangan berharap disambut dengan sofa empuk atau pendingin ruangan canggih. Ini bukan Starbucks. Ini bukan tempat buat buka laptop dan pura-pura kerja.
Ini kedai kopi kampung yang jujur dalam kesederhanaan. Meja dan kursinya hanya beberapa, dan itu pun cepat penuh sebelum matahari naik tinggi. Siapa yang datang telat, ya siap-siap kecewa. Bukan cuma karena nggak kebagian tempat, tapi juga karena kemungkinan rotinya sudah habis diserbu pelanggan.
Roti bakarnya tidak neko-neko. Berbentuk petak panjang, ditumpuk rapi dalam etalase kaca sederhana yang juga di etalase lainnya tampak diisi beberapa botol air mineral. Tidak ada lampu LED atau papan menu Instagramable. Tapi jangan salah, yang datang ke sana bukan orang-orang yang butuh dekorasi kece buat selfie. Mereka datang untuk satu hal: roti bakar srikaya. Titik.

Roti ini bukan roti biasa. Bukan roti supermarket yang kalau dipencet, bentuknya nggak balik. Roti Atoi punya tekstur empuk, dengan permukaan yang pas digigit. Diolesi selai srikaya yang konon dibuat sendiri oleh pemiliknya—yang menurut cerita adalah keturunan Tionghoa.
Srikayanya punya rasa manis legit, dengan aroma khas telur dan santan yang lembut. Tidak terlalu manis, tapi cukup untuk membuat mulut ketagihan dan pikiran langsung membayangkan gigitan berikutnya.
Satu porsi roti Atoi dan segelas kopi O—kopi hitam pahit tanpa gula dalam gelas kecil—cukup untuk mengisi pagi hari siapa pun. Harganya pun masih ramah kantong, bahkan buat pelajar atau pekerja honorer. Kurang lebih sekitar Rp 20 ribuan. Bahkan, kalau lagi malas nongkrong, roti dan selainya bisa dibeli terpisah, dibawa pulang, dan diracik sendiri di rumah. Praktis dan fleksibel. Kayak cinta yang tidak posesif.
Apa yang membuat roti Atoi begitu diminati,? Mungkin karena rasa yang konsisten. Mungkin juga karena rasa nostalgia yang menempel dalam tiap gigitan. Kedai ini tidak pernah mencoba menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Tidak ada upaya mengikuti tren kopi kekinian atau menjual makanan dengan nama-nama ribet. Mereka tahu bahwa kekuatan mereka ada pada roti, bukan pada hal-hal kosmetik yang sering menipu lidah.
Lucunya, tidak ada yang tahu pasti sejak kapan kedai ini berdiri. Seperti legenda urban, eksistensinya seolah sudah ada sejak zaman dahulu kala, diwariskan dari generasi ke generasi, tanpa pernah masuk acara kuliner televisi nasional.
Tapi, tanya saja warga Dabo Singkep, dan sebagian besar pasti akan merekomendasikan Atoi sebagai tempat ngopi pagi plus sarapan asik. Bahkan meski hanya ada roti di sana. Tidak ada lontong, tidak ada nasi goreng, apalagi menu all you can eat.
Atoi membuktikan bahwa kadang, kelezatan tidak butuh kemewahan. Tidak perlu Instagram filter. Tidak perlu endorsement artis. Cukup roti bakar sederhana, selai buatan sendiri, dan kedai kecil di pinggir jalan pasar lama. Rasa yang jujur, harga bersahabat, dan suasana yang tidak dibuat-buat. Kadang, justru itu yang membuat sebuah tempat jadi istimewa.
Kalau kebetulan singgah ke Dabo Singkep, dan merasa lapar di pagi hari, cobalah mampir ke Kedai Kopi Sudi Mampir Atoi. Tidak perlu berharap kopi hebat, tapi bersiaplah jatuh cinta pada roti srikaya yang sederhana tapi memikat. Kadang, cinta sejati memang datang dalam bentuk yang paling tak terduga—seperti roti bakar dari kedai kecil yang tak jauh letaknya dari bekas pusat perkantoran PT Timah, sekarang namanya dikenal dengan kawasan implasement Timah Dabo.
Oleh: Fikri