
KUTIPAN – Kalau menyebut Tanjungpinang, banyak yang mikirnya cuma kota persinggahan. Tempat transit sebelum nyebrang ke Batam atau sekadar singgah sebelum balik ke kampung halaman. Tapi siapa sangka, kota ini justru menyimpan harta karun sejarah yang sudah lama dijaga—dan baru-baru ini, akhirnya diakui secara nasional.
Pada Kamis, 8 Mei 2025, di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, menerima penghargaan Trisakti Tourism Award 2025. Bukan main-main, Tanjungpinang menyabet Juara 2 Kategori Wisata Sejarah, berkat keindahan dan nilai historis Pulau Penyengat.
Pulau kecil yang hanya sepelemparan batu dari pusat kota ini bukan cuma tempat wisata biasa. Di sini, sejarah dan budaya Melayu hidup berdampingan dengan cerita-cerita perjuangan bangsa. Dari Masjid Raya Sultan Riau yang dibangun dengan putih telur, sampai benteng pertahanan tua yang jadi saksi bisu perjuangan rakyat Riau-Lingga melawan kolonialisme. Ini bukan sekadar spot Instagramable, ini warisan bangsa.
Penghargaan ini, menurut Lis, bukan hanya milik pemerintah kota. “Penghargaan ini kami persembahkan untuk seluruh masyarakat Tanjungpinang, terutama warga Pulau Penyengat, yang tanpa lelah menjaga warisan sejarah dan budaya kita.”
Logikanya begini: sebuah destinasi bisa jadi indah, tapi kalau nggak dijaga masyarakatnya, ya bakal luntur juga. Yang bikin Pulau Penyengat beda, adalah keterlibatan warga. Gotong royong, bukan cuma slogan. Melestarikan sejarah, bukan cuma buat nilai tambah wisata, tapi demi menjaga identitas budaya.
Lis melanjutkan bahwa penghargaan ini bukan titik akhir, melainkan awal dari langkah panjang. “Ke depan, kami akan terus berupaya meningkatkan infrastruktur pariwisata, memperkuat promosi wisata berbasis budaya, serta memperluas akses ke destinasi wisata sejarah seperti Pulau Penyengat.”
Tentu saja, kerja pemerintah saja tidak cukup. Dalam narasinya, Lis juga menekankan pentingnya kolaborasi. “Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat akan menjadi kunci untuk mendorong kemajuan sektor pariwisata di Tanjungpinang.”
Kalau merujuk pada prinsip Trisakti—yang jadi dasar penghargaan ini—pariwisata bukan cuma soal menarik wisatawan. Tapi bagaimana pariwisata bisa membuat bangsa berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan tetap punya kepribadian dalam budaya. Artinya, sejarah bukan sekadar diabadikan, tapi dijadikan fondasi masa depan.
Tanjungpinang lewat Pulau Penyengat sedang membuktikan, bahwa kota kecil juga bisa bicara besar, selama tidak lupa akar budaya dan sejarahnya. Dan kalau dikelola dengan benar, bukan tidak mungkin nama Tanjungpinang bisa sejajar dengan destinasi-destinasi wisata sejarah lain di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Dengan ini, mungkin sudah waktunya menghapus anggapan bahwa Tanjungpinang cuma kota perlintasan. Karena sekarang, kota ini sedang mengajak orang untuk berhenti sejenak, menengok sejarah, dan—siapa tahu—jatuh cinta pada jejak masa lalu yang masih hidup di Pulau Penyengat.
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.