
KUTIPAN – Awal tahun 2025 ternyata bukan cuma sibuk soal resolusi atau daftar belanja online. Di Batam, ada yang lebih serius: sengketa informasi. Komisi Informasi (KI) Provinsi Kepulauan Riau mencatat, ada tiga permohonan sengketa informasi yang masuk hanya dalam hitungan minggu pertama tahun ini. Semua pemohonnya, eh, berdomisili di Batam juga.
Badan publik yang disoal pun bukan nama sembarangan. Ada dua sengketa yang menyoal Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam alias BP Batam, serta satu lagi melibatkan Pemerintah Kota Batam. Sengketa ini, buat yang ngikutin, sebetulnya kayak deja vu: soal transparansi yang kerap jadi barang langka.
Sidang untuk dua dari tiga kasus itu sudah mulai digelar Kamis, 8 Mei 2025 lalu, bertempat di Graha Kepri, Kota Batam. Majelis Komisi Informasi Kepri—yang dikomandoi Encik Afrizal, dibantu Saut Maruli Samosir dan Alfian Zainal—langsung tancap gas.
Kasus pertama melibatkan Surly Harahap versus BP Batam. Dalam sengketa bernomor register 001/II/KI-KEPRI-PS/2025 ini, Surly minta data pengelolaan kawasan pro-edukasi, UMKM, pariwisata, dan soal pemeliharaan tiga unit rumah susun yang dikelola BP Batam. Tapi sayang, Surly absen dalam sidang karena ada kondisi darurat. Majelis tetap melanjutkan proses.
Sidang kedua, lebih panas, antara Raja Alip melawan BP Batam (nomor register 002/II/KI-KEPRI-PS/2025). Raja Alip meminta data alokasi lahan—luas, peruntukan, sampai lokasi titiknya. Pihak BP Batam diwakili oleh Windu dan Gilang dari PPID.
Sesuai Peraturan Komisi Informasi (PERKI) Nomor 1 Tahun 2013, sidang perdana ini agendanya pemeriksaan awal. Hal-hal mendasar dicek: apakah pemohon dan termohon punya legal standing, apakah pengajuan sudah sesuai batas waktu, dan seterusnya. Ibarat main bola, ini baru cek ukuran lapangan sama kondisi bola.
Permohonan Raja Alip kemudian dibacakan. Intinya, dia keberatan lantaran BP Batam berkilah bahwa informasi soal lahan itu termasuk kategori Informasi yang Dikecualikan (DIK)—alias, tidak bisa diobral ke publik dengan berbagai alasan hukum.
Majelis KI Kepri lalu membuka peluang mediasi. Mediasi dilakukan secara tertutup, beda dengan sidang sengketa yang sifatnya terbuka. Mediatornya, Arison, dibantu Muhammad Djuhari.
Sayangnya, mediasi perdana belum membuahkan hasil. Masing-masing pihak, khususnya Raja Alip, minta waktu tambahan buat mempelajari dasar hukum yang diajukan BP Batam. “Pada mediasi tersebut, kedua belah pihak, terutama pemohon, meminta waktu untuk mempelajari aturan yang disampaikan termohon,” ujar Arison.
Sementara itu, kasus ketiga (nomor register 003/II/KI-KEPRI-PS/2025) masih pending. Pemohonnya sedang berada di luar daerah, sehingga sidangnya harus menunggu.
Melihat fenomena ini, tampaknya penting untuk bertanya: seberapa siap sebenarnya badan publik di Batam dalam menghadapi tuntutan keterbukaan informasi? Apakah transparansi itu cuma jargon di spanduk, atau memang jadi budaya kerja sehari-hari?
Kalau informasi dasar seperti pengelolaan lahan saja sulit diakses, bagaimana masyarakat bisa ikut mengawasi pembangunan daerahnya sendiri? Apalagi di era keterbukaan ini, informasi bukan cuma hak, tapi juga senjata untuk memastikan pemerintah jalan lurus. Menarik ditunggu bagaimana KI Kepri memainkan perannya sebagai wasit di lapangan ini.
Untuk informasi beragam lainnya, kuti kami di channel WhatsApp https://whatsapp.com/channel/0029VancJwh96H4ZVUpqeI2A atau https://whatsapp.com/channel/0029VaiC5KU65yDImom42a11.
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.