
Pernah nggak sih kamu merasa bahwa TV itu seperti pacar yang cuma menemani pas lagi butuh doang? Ya, dulu, kita semua pasti masih inget kan waktu TV jadi satu-satunya pilihan hiburan di rumah? Dari acara pagi yang isinya cuma iklan bedak bayi sampai sinetron yang nggak jelas kenapa bisa berlangsung berbulan-bulan. Semua orang di rumah bersepakat: “Kalau TV nggak nyala, berarti kita semua lagi kehabisan energi untuk hidup.”
Namun, coba deh kita lihat sekarang. TV seakan berubah jadi barang antik yang cuma ada di ruang tamu buat gaya-gayaan. Mau nonton apa? Youtube ada! Netflix ada! TikTok ada! Semua bisa diakses lewat ponsel, dan TV? Hanya bisa bengong di pojokan, kayak cowok yang nggak pernah dibales chat-nya. Tragic.
Apakah Televisi Akan Mengikuti Jejak Koran yang Tersingkirkan?
Sebelum kita ngomongin TV, mari kita intip sebentar ke nasib koran yang dulu jadi sumber informasi utama bagi banyak orang. Di masa lalu, kalau kamu nggak punya koran pagi, rasanya hidup nggak lengkap. Koran adalah tempat kita mencari tahu siapa yang baru saja menjadi presiden, siapa yang menang di Piala Dunia, atau siapa yang baru saja digosipin selingkuh. Segala hal penting dipenuhi dengan tinta hitam dan kertas bergulung.
Tapi siapa yang masih baca koran sekarang? Cuma orang-orang yang mungkin hobi mendengarkan suara ritsleting plastik saat membuka koran atau mungkin orang tua yang masih setia dengan ritual pagi. Koran? Sudah tenggelam, tinggal kenangan. Sebagian besar media cetak sudah gulung tikar, dan yang bertahan pun terpaksa mengikuti perubahan zaman dengan bertransformasi ke dunia digital.
Nah, pertanyaannya, apakah TV juga akan bernasib sama? Akan hilang dan tenggelam oleh kemajuan zaman? Hmm, bisa jadi, sih.
Kenapa Televisi Mulai Ketinggalan Zaman?
Satu kata: On-demand. Apa itu? Semua konten yang bisa kamu tonton kapan saja, di mana saja, tanpa harus tunduk pada jadwal tayang TV yang kaku. Dulu, kalau kamu telat nonton acara kesayangan, kamu harus rela menunggu tayang ulang yang entah kapan. Sekarang, nggak perlu. Ponsel, tablet, atau laptop sudah cukup buat jadi TV pribadi kamu.
TV yang dulu penuh dengan acara yang disiapkan untuk seluruh keluarga kini terasa seperti acara yang dimaksudkan untuk generasi yang mulai digantikan oleh pengguna internet yang lebih pintar. Sinetron yang selalu menghadirkan konflik yang bisa diprediksi (dan tak habis-habis) makin kehilangan penggemar. Talkshow yang mencoba memancing gelak tawa dengan guyonan yang kadang terlalu dipaksakan juga kalah pamor dengan komedian TikTok yang hanya butuh 15 detik untuk mengocok perut.
Tapi, TV masih ada. Masih menonton pertandingan sepakbola di layar besar atau acara langsung yang bikin semua orang tegang. Seperti pacar yang masih ada, meskipun sudah nggak terlalu seksi lagi. Ada momen-momen tertentu di mana TV terasa relevan, seperti saat nonton final piala dunia atau nonton berita penting yang diliput langsung. Tapi apakah itu cukup untuk menyelamatkan TV?
Masa Depan Televisi: Pensiun Dini atau Justru Transformasi?
Mungkin memang ada secercah harapan bagi televisi, tapi apakah itu akan cukup untuk menyelamatkan si box besar dari kepunahan? Mungkin iya, kalau TV mulai beradaptasi dengan teknologi streaming dan menawarkan layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan generasi milenial dan Z. Kalau TV mulai hadir dengan konten yang lebih interaktif, lebih personalized, dan lebih on-demand, siapa tahu, TV bisa kembali menemukan tempatnya di hati keluarga Indonesia.
Tapi, kalau TV tetap pada jalur konservatifnya, berharap rating naik hanya karena acara gosip atau sinetron yang punya plot cerita lebih absurd dari kehidupan sehari-hari, ya siap-siap deh untuk mengikhlaskan dirinya jadi barang antik yang hanya muncul di museum media masa depan.
Jadi, apakah televisi akan bernasib sama dengan koran? Bisa jadi. Tapi, seperti apapun nasibnya, kita semua tetap tahu satu hal: TV memang nggak lagi jadi pusat perhatian. Kini, kita sudah punya pilihan yang jauh lebih menarik. Entah itu nonton serial Korea yang bawa-bawa drama, atau nonton video kucing yang pamer skill parkour-nya.
Tapi apapun yang terjadi, semoga saja TV nggak harus mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang sama seperti koran: di ruang gelap tanpa peminat. Sebab, sejujurnya, masih ada satu hal yang tak bisa digantikan oleh Netflix: kebersamaan di depan layar yang besar, dengan suara keras dan remote TV yang sering hilang. Itu sih, masih lebih enak daripada nonton sendiri di layar ponsel.
Oleh: Fikri CEO & Founder kutipandotco