
KUTIPAN – Siapa bilang polisi cuma bisa tangkap maling dan ngatur lalu lintas? Di Distrik Heram, Jayapura, pemandangan berbeda terlihat di siang hari, Minggu, 5 Mei kemarin. Beberapa polisi muda, lengkap dengan seragam dinas, tampak asyik duduk lesehan bareng anak-anak. Tapi bukan buat interogasi, melainkan… ngajarin calistung. Iya, baca-tulis-hitung.
Bertempat di Rumah Belajar Perumahan Graha Youtefa, sekelompok polisi dari Subsatgas Si Ipar (Satgas Operasi Rasaka Cartenz 2025) sibuk mendampingi anak-anak yang putus sekolah dan belum sempat bersentuhan dengan huruf dan angka. Di antara yang hadir, ada Bripda Fikri, Bripda Fajar, dan Bripda Angel — yang bukan cuma bermodal senyum manis, tapi juga semangat mengajar yang nggak main-main.
“Mengajarkan anak-anak membaca, menghitung, dan menulis bukan sekadar soal akademik, tapi bentuk nyata dari kasih sayang dan kepedulian terhadap masa depan mereka,” kata AKP Lalang, Kasubsatgas Si Ipar, membuka obrolan dengan nada yang lebih mirip guru PAUD ketimbang komandan lapangan.
Kegiatan ini memang nggak pakai modul ribet atau kurikulum silabus segala. Mereka mulai dari dasar: mengenal huruf, angka, mewarnai, menggambar, sampai berdoa bersama. Intinya, pendidikan yang membentuk karakter — bukan cuma pintar di kepala, tapi juga lembut di hati.
“Kami hadir bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai sahabat yang ingin melihat mereka tumbuh dengan percaya diri, memiliki harapan, dan kelak bisa menggapai cita-cita,” lanjut AKP Lalang, yang jelas lebih memilih jadi agen perubahan sosial ketimbang agen kejar-kejaran maling.
Lucunya, di tengah masyarakat yang makin skeptis sama lembaga mana pun — apalagi yang berseragam — justru polisi yang nongol duluan di medan literasi ini. Bukan guru, bukan pejabat pendidikan, tapi aparat keamanan yang seharusnya sibuk dengan urusan kriminal.
Apa karena sistem pendidikan formal kita terlalu sibuk rapat, sementara anak-anak di pinggiran malah kelaparan huruf?
AKP Lalang nggak muluk-muluk. Baginya, setiap anak berhak belajar. “Kami percaya setiap anak berhak mendapat kesempatan untuk belajar dan berkembang. Dengan pendekatan yang sederhana, penuh kasih, dan konsisten, kami ingin menumbuhkan semangat belajar serta pentingnya pendidikan.”
Bayangkan, anak-anak ini bukan cuma kekurangan akses, tapi juga perhatian. Jadi ketika ada polisi yang datang bukan buat sweeping, tapi ngajarin alfabet, ya rasanya seperti ketemu sinar matahari setelah berbulan-bulan mendung.
Misi besar mereka dibungkus dalam nama resmi: Operasi Rasaka Cartenz 2025. Tapi isinya? Jauh dari kesan operasi militer. Justru penuh tawa anak-anak dan semangat polos yang belum tercemar algoritma TikTok.
“Kami berharap dengan adanya Operasi Rasaka Cartenz ini, anak-anak penerus bangsa bisa mendapatkan manfaat positif dan semangat baru untuk terus belajar,” pungkas AKP Lalang, seperti menutup pelajaran hari itu dengan senyuman optimistis.
Di tengah drama panjang pendidikan nasional yang suka lompat dari kurikulum ke kurikulum, dari zonasi ke digitalisasi, ternyata masih ada orang-orang yang memilih menyelesaikan masalah dengan cara paling manusiawi: hadir, menyapa, dan mengajar.
Jadi kalau ada yang bilang polisi itu keras dan jauh dari rakyat, mungkin belum lihat mereka ngajarin anak-anak mewarnai bunga dan menulis “Ibu” di kertas bergaris. Polisi yang satu ini, lebih cocok disebut pendidik berseragam.
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.