
KUTIPAN – Kalau kamu pernah jalan-jalan ke Pasar Bintan Centre di Tanjungpinang, pasti nggak asing sama pemandangan khas: trotoar yang disulap jadi lapak dadakan. Pejalan kaki yang niatnya cuma mau jalan santai jadi harus ngalah, minggir ke jalan raya. Risikonya? Ya, jelas berbahaya. Nah, situasi semacam ini yang lagi coba diberesin oleh Pemerintah Kota (Pemko) Tanjungpinang.
Selasa (6/5) kemarin, Pemko ngumpulin para OPD (Organisasi Perangkat Daerah) buat ngobrolin serius soal penataan Pedagang Kaki Lima alias PKL di kawasan pasar Bintan Centre. Pertemuan ini digelar di ruang rapat Dishub Tanjungpinang dan dipimpin oleh Asisten Administrasi Perekonomian dan Pembangunan, Elfiani Sandri.
Yang dibahas bukan cuma soal “gusur-menggusur”, tapi lebih ke arah koordinasi penataan secara manusiawi. Soalnya, penertiban itu sudah dimulai dari Rabu (9/4) sebelumnya, dan dilakukan oleh Satpol PP. Tapi jangan bayangin penertiban ala film action ya. Pendekatannya justru katanya “humanis dan partisipatif.”
Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, juga nggak tinggal diam. Beliau menekankan bahwa para PKL tetap boleh jualan. Tapi tentu saja, ada aturannya.
“Para PKL nantinya masih bisa berjualan sesuai aturan yang berlaku agar tetap tertib dan tidak mengganggu pejalan kaki maupun pengguna bahu jalan lainnya,” ujar Lis, Rabu (9/4).
Jadi intinya: dagang boleh, asal jangan ngambil hak orang lain. Fair, kan?
Elfiani Sandri sendiri menambahkan kalau upaya ini bukan buat mematikan rezeki pedagang, tapi justru buat menciptakan kondisi kota yang nyaman buat semua.
“Penataan kawasan PKL ini merupakan bagian dari upaya Pemko Tanjungpinang tentunya dalam menciptakan kota yang tertib, bersih dan aman,” ujarnya.
Lalu gimana nasib para pedagang yang biasanya berjualan di trotoar atau bahu jalan? Nah, di sinilah peran relokasi. Dalam pertemuan tersebut juga dibahas hal-hal teknis, termasuk soal lokasi relokasi yang sebelumnya sudah disepakati. Jadi nggak asal suruh pindah tanpa solusi.
Elfiani bahkan menyampaikan terima kasih buat para pedagang yang sudah kooperatif dan patuh aturan.
“Dan untuk pedagang lainnya dihimbau segera mendaftarkan lapak jualannya ke pihak terkait dengan lokasi yang telah disiapkan dan disepakati sebelumnya, agar ke depannya tidak ada lagi kawasan seperti bahu jalan atau trotoar yang dijadikan lokasi berjualan,” tuturnya.
Kalau dipikir-pikir, penertiban ini bukan semata soal aturan. Tapi lebih ke soal logika bersama: kita semua butuh ruang yang tertib. Bayangkan kalau semua orang ngambil jalan seenaknya. Trotoar diambil pedagang, bahu jalan diambil parkir liar, pejalan kaki harus loncat-loncat menghindari gerobak. Ujung-ujungnya kota jadi sumpek, rawan celaka, dan pastinya nggak enak dilihat.
Penataan kayak gini memang nggak akan memuaskan semua pihak. Pasti ada yang ngeluh. Tapi, kalau Pemko sudah kasih solusi berupa tempat relokasi dan buka ruang dialog, masa iya kita nggak bisa duduk bareng dan mikir: ini buat kebaikan semua?
Karena pada akhirnya, kota yang baik bukan cuma soal bangunan tinggi atau mall besar. Tapi juga soal ruang bersama yang ramah, dan aturan yang masuk akal serta dijalankan dengan adil.
Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.