
KUTIPAN – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten Tasikmalaya tahun ini diwarnai dengan aksi unik warga Kampung Cintasari, Kecamatan Singaparna. Dalam pawai kemerdekaan yang digelar pada Minggu (17/8/2025), sejumlah peserta mengenakan topeng tikus berdasi sebagai simbol kritik sosial terhadap praktik korupsi yang masih menggerogoti bangsa.
Pawai yang dimulai sejak pukul 08.30 WIB dari Jalan Pemda Tasikmalaya menuju Alun-alun Singaparna itu semula berlangsung meriah seperti biasanya, dengan warga mengenakan atribut merah putih dan kostum perjuangan. Namun perhatian masyarakat langsung tertuju pada barisan peserta yang tampil satir dengan topeng tikus berdasi, sambil membawa koper dan karung bertuliskan pesan “Uang Rakyat” dan “Saya Bangga Menjadi Koruptor”.
Mereka juga mengusung poster dengan tulisan bernada sindiran, seperti “Tikus Berdasi Bukan Pahlawan Bangsa”, “Kemerdekaan Tanpa Korupsi”, dan “Kami Merdeka, Tapi Masih Dijajah oleh Ketamakan”.
Simbol Satir yang Sarat Makna
Topeng tikus berdasi menjadi simbol yang sarat pesan. Tikus kerap dikaitkan dengan pencuri, sementara dasi menggambarkan elite atau pejabat berpenampilan rapi. Kombinasi keduanya menyiratkan sindiran terhadap oknum yang menyalahgunakan jabatan demi kepentingan pribadi.
“Pawai ini bukan sekadar hiburan tahunan, tapi bentuk ekspresi warga atas keresahan sosial-politik. Kami ingin menyampaikan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal upacara dan lomba, tapi juga keberanian melawan ketidakadilan, termasuk korupsi,” kata Yono, Ketua Pemuda Kampung Cintasari sekaligus koordinator kegiatan.
Menurut Yono, ide penggunaan topeng tikus berdasi muncul dari keresahan warga terhadap maraknya kasus korupsi yang terus mencuat. “Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari penjajahan moral. Korupsi adalah bentuk penjajahan baru yang menyengsarakan rakyat,” ujarnya.
Respons Warga dan Dukungan PWRI
Aksi teatrikal ini disusun dalam barisan bertema “Kemerdekaan yang Tercuri”. Peserta berjalan lambat sambil mengangkat poster bertuliskan “Korupsi Membunuh Masa Depan” dan “Kami Butuh Pemimpin, Bukan Perampok”.
Respons masyarakat sangat antusias. Banyak yang merasa terharu sekaligus bangga melihat kreativitas warga desa dalam menyuarakan aspirasi lewat budaya pawai.
Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Kabupaten Tasikmalaya, Chandra F. Simatupang, bahkan hadir langsung memberikan dukungan moral. Ia menilai pendekatan budaya seperti ini mampu membangkitkan kesadaran publik secara lebih efektif dibanding kampanye formal.
“Ini bukan sekadar pawai, tapi bentuk partisipasi warga dalam demokrasi. Mereka menyampaikan kritik dengan cara damai, kreatif, dan menyentuh,” kata Chandra.
Lebih lanjut, Chandra menegaskan bahwa aksi warga Cintasari menunjukkan semangat kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan suka cita, lagu, atau bendera, melainkan juga dengan keberanian menyuarakan kebenaran.
“Di tengah perayaan nasional, warga ini mengingatkan kita bahwa perjuangan belum selesai. Suara rakyat, sekecil apapun, tetap punya daya untuk menggugah nurani bangsa,” ujarnya.
Laporan: Chandra Editor: Husni