
KUTIPAN – Biasanya, masuk sekolah itu urusannya guru, siswa, dan kadang orang tua yang mengantar. Tapi Senin (5/5) kemarin, yang masuk sekolah bukan tokoh-tokoh itu, melainkan Wakil Gubernur Kepulauan Riau, Nyanyang Haris Pratamura. Bukan untuk belajar Matematika, tentunya, tapi untuk secara resmi membuka kegiatan Kesbangpol Masuk Sekolah alias KEMAS.
Acara ini bukan kegiatan dadakan yang muncul karena kalender pendidikan kosong. Sebelumnya, program KEMAS sudah di-launching oleh Gubernur H. Ansar Ahmad tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei lalu. Momentum yang ciamik, karena bicara soal pendidikan bangsa bukan melulu soal kurikulum, tapi juga karakter.
Kegiatan perdana dihelat di SMA Negeri 1 Tanjungpinang dengan kehadiran tiga narasumber yang bukan kaleng-kaleng: Risa Wilsi dari Kogabwilhan 1, Handarlin Umar sang Ketua FKUB Kepri, dan Siska Sukmawati dari Pokja 1 PKK Kepri. Kalau Anda pikir ini seminar yang cuma bisa bikin ngantuk, sebaiknya pikir ulang. Karena isi pesannya cukup panas: radikalisme, narkoba, dan semangat persatuan. Kombinasi yang lebih pedas dari sambal mangga muda.
“Tujuannya adalah untuk mewujudkan generasi muda yang berkualitas, terhindar dari radikalisme, terorisme dan narkoba serta memiliki semangat persatuan,” kata Kepala Kesbangpol Kepri, Darson, dengan nada yang tidak bisa ditawar-tawar.
Program KEMAS sendiri bakal menyambangi sejumlah SMA/SMK di Tanjungpinang, Batam, dan Bintan, dengan sasaran yang lumayan ambisius: 500 sampai 1000 pelajar di setiap sekolah. Sebuah kerja besar, tapi bukan tidak mungkin. Apalagi ketika yang dibicarakan bukan cuma soal bendera dan lagu kebangsaan, tapi juga soal nyawa ideologi Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa.
“Besarnya harapan kami dengan diadakannya kegiatan ini dapat menambah pemahaman dan pengetahuan siswa/siswi di Provinsi Kepulauan Riau,” ujar Wagub Nyanyang.
Tak lupa, apresiasi diberikan kepada Badan Kesbangpol Kepri dan para narasumber. Tapi yang paling penting, kata Wagub, adalah para siswa. “Selamat mengikuti kegiatan ini dengan baik dan sungguh-sungguh hingga selesai,” ucapnya, yang terdengar seperti kalimat penutup sebelum ujian nasional.
Kegiatan ini sejatinya bukan hanya soal pemahaman politik atau sejarah. Ia juga menyasar hal-hal yang lebih konkret: kesadaran terhadap bahaya narkoba, radikalisme, dan pentingnya menjaga kerukunan. Sebuah proyek soft power untuk mencetak pelajar yang tidak hanya pintar, tapi juga punya akar ideologis yang kuat. Karena di tengah dunia yang makin chaotic, Pancasila bukan sekadar hafalan, tapi pegangan hidup.***