
Setiap kali musim kelulusan SMA datang, aroma nostalgia memenuhi udara. Tapi bukan nostalgia yang bikin mata berkaca-kaca seperti dengar lagu Sheila On 7. Bukan. Ini nostalgia yang datang bersamaan dengan bau pilox, suara knalpot brong, dan jalanan kota yang berubah jadi sirkuit liar. Sebab, di negeri +62 tercinta ini, kelulusan SMA bukan cuma tentang melepas masa sekolah, tapi juga tentang “melepaskan” segala bentuk ketertiban dan akal sehat. Salah satu ritualnya? Coret-coret baju seragam putih abu-abu.
Entah siapa yang pertama kali memulai tradisi ini. Mungkin dulunya sederhana: tulis-tulisan kecil di ujung lengan baju, semacam kenang-kenangan. Tapi lama-lama seperti kebanyakan budaya pop yang lahir dari spontanitas, dia berubah jadi fenomena massal yang kadang lebih mirip pesta pora umat yang baru saja menang perang.
Baju putih yang dulunya sakral — dipakai buat upacara, buat ngerjain ujian nasional, buat disetrika tiap minggu sampai licin kayak lantai rumah bos mafia — tiba-tiba jadi korban vandal paling brutal. Cat semprot berbagai warna jadi senjata, dan tiap tembok seragam berubah jadi mural tak bertuan: dari kata-kata kangen, lelucon jorok, nama mantan, sampai makian ke guru matematika.
Ini katanya ekspresi. Katanya euforia. Katanya kenangan.
Tapi lama-lama saya curiga, jangan-jangan ini bentuk pelampiasan.
Pelampiasan dari sistem pendidikan yang terlalu menekan, dari aturan sekolah yang kaku, dari guru yang terlalu sering ngasih PR tapi lupa ngajarin hidup. Jadi begitu hari kelulusan datang, semua rasa terpendam itu meledak. Sayangnya, yang sering kena dampak bukan sistemnya, tapi seragam, jalanan, dan kadang-kadang… warga sekitar.
Karena coret-coret ini jarang berdiri sendiri. Ia hampir selalu beranak-pinak: konvoi liar pakai motor tanpa helm, nggeber knalpot jam 11 siang pas orang baru mau tidur siang, neriakin cewek yang lewat, sampai nyemprot cat ke jalanan yang tidak bersalah.
Apa yang dirayakan sebenarnya?
Lulus? Oke. Tapi lulus dari apa? Apakah benar-benar sudah “lulus” dalam artian bisa bersikap dewasa, bertanggung jawab, dan sadar ruang publik? Atau baru sekadar bebas dari seragam dan jadwal pelajaran?
Di sinilah letak ironi sekaligus absurditasnya. Di satu sisi, kita ingin mengapresiasi momen kelulusan sebagai tonggak hidup. Tapi di sisi lain, cara kita merayakannya seringkali justru menunjukkan bahwa kita belum layak dianggap “lulus” dalam arti yang lebih luas.
Yang paling menyedihkan dari fenomena ini adalah bagaimana ia dijustifikasi. Coba aja tanya anak-anak yang ikutan coret-coret baju dan konvoi: kenapa sih kalian lakukan ini? Jawabannya hampir selalu klise: “Kan cuma sekali seumur hidup.”
Kalimat itu, saudara-saudara, adalah alasan paling populer untuk melakukan banyak hal bodoh dalam hidup. Dari nonton konser sampai pingsan, naik wahana ekstrim meski takut ketinggian, sampai… nikah muda tanpa tabungan.
Ya, karena “sekali seumur hidup” bukan berarti harus dilakukan dengan cara yang sembrono. Pernikahan juga sekali seumur hidup (semoga), tapi masa iya dirayakan dengan nyemprot cat ke muka orang?
Yang menarik, orang dewasa sering melihat tradisi ini sebagai kenakalan remaja yang lumrah. “Namanya juga anak muda,” kata mereka sambil senyum maklum. Tapi kemudian mereka juga orang yang sama yang akan update status, “Generasi sekarang makin nggak sopan, makin rusuh.”
Lho, siapa yang melestarikan pembiaran kalau bukan kita?
Media sosial juga ikut andil. Setiap tahun, video coret-coret baju dan konvoi liar jadi viral. Bukan buat dikritik, tapi buat ditertawakan. Jadilah tontonan tahunan yang bahkan lebih konsisten dari sinetron Ramadan. Dan lucunya, para pelakunya justru bangga. Viral adalah validasi, bukan teguran.
Padahal, ada banyak cara merayakan kelulusan yang lebih elegan, lebih meaningful, dan tidak menyakiti estetika publik. Misalnya, bikin acara perpisahan yang proper, nulis surat kenangan buat teman dan guru, atau bahkan sekadar kumpul bareng sambil makan mi rebus dan cerita masa-masa lucu di kelas. Bahkan mencoret baju pun sah-sah saja — asal dilakukan di ruang privat, dengan pesan yang menyentuh, bukan sekadar tulisan “Budi was here” di dekat kerah.
Saya tahu, buat sebagian orang, kritik terhadap coret-coret baju ini terdengar kayak suara nyinyir generasi tua yang nggak ngerti “kebebasan berekspresi”. Tapi kebebasan yang tidak dibarengi tanggung jawab akan berakhir jadi kerusakan. Sama kayak punya SIM tapi bawa motor sambil wheelie di jalan raya.
Lulus SMA adalah titik balik hidup. Ini momen penting. Tapi pentingnya bukan karena kita bisa nyoret baju seenaknya, tapi karena kita sedang berpindah dari dunia seragam ke dunia bebas — dan di dunia bebas itu, setiap tindakan punya konsekuensi. Sayangnya, pelajaran itu tidak diajarkan di ruang kelas. Kita belajar sendiri, lewat pilihan-pilihan yang kita ambil.
Maka, untuk adik-adik kelas 12 yang baru saja lulus: coret-coret baju itu boleh. Tapi jangan coret masa depanmu dengan pilihan yang salah. Jangan rusak momen penting ini dengan aksi yang membuatmu ditertawakan, bukan dikenang.
Karena sejatinya, bukan seragammu yang harus kamu tinggalkan, tapi sikap kekanak-kanakan yang melekat padanya.
Penulis: Sari Utari
Pernah hampir jadi guru, tapi lebih betah ngomel lewat tulisan. Peminum teh manis yang sinis tapi manis.