
KUTIPAN – Bicara soal budaya di Tanjungpinang, bukan cuma soal Gurindam atau pantun Melayu. Ada tiga nama yang mungkin masih asing di telinga: Aqiqah, Pijak Tanah Mekah, dan Astakona. Ketiganya kini melangkah dalam satu misi penting: menembus daftar Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) nasional.
Hari itu, Kamis (24/7), suasana sedikit lebih sibuk dari biasanya. Tim dari Kementerian Kebudayaan RI datang membawa misi: menilai layak atau tidaknya tiga unsur budaya Tanjungpinang masuk dalam deretan WBTb nasional. Dua di antaranya—Aqiqah dan Pijak Tanah Mekah—dinyatakan sudah lengkap secara administrasi. Satu lagi, Astakona, masih menapaki jalan yang lebih berliku.
Astakona bukan cuma soal kerajinan tangan. Ia adalah representasi keterampilan masyarakat, hasil dari warisan turun-temurun yang mulai jarang disentuh generasi muda. Ketua tim penilai, Ahmad Fachrurrodji, menyebutnya sebagai budaya yang kuat secara nilai. Tapi, seperti biasa, kekuatan itu harus dibuktikan lewat dokumen dan komitmen pemerintah daerah.
“Karena ini merupakan keterampilan berbasis masyarakat, perlu ada komitmen yang jelas dari daerah bila nanti ditetapkan sebagai WBTb,” ucap Fachrurrodji.
Ada yang tidak ingin Astakona hanya jadi barang pajangan museum: Dewi Kristina Sinaga dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tanjungpinang. Ia menegaskan bahwa langkah dokumentasi dan pelestarian terus dilakukan, bukan hanya demi pengakuan, tapi juga penguatan identitas.
“Kami berharap usulan ini membuahkan hasil. Upaya dokumentasi dan pelestarian budaya lainnya juga akan terus dilakukan secara berkala,” jelasnya.
Tentu, suara hati paling dalam datang dari mereka yang menghidupkan budaya ini setiap hari. Syafaruddin, maestro Astakona, punya harapan yang cukup besar agar kerajinan ini bisa diakui nasional.
“Sudah saatnya dikenalkan lebih luas dan dijaga agar tidak hilang. Kami juga akan mengusulkan pembangunan tugu Astakona di titik strategis kota sebagai simbol budaya lokal,” katanya.
Pada kunjungan tersebut, dua pengrajin dari Lembaga Adat Melayu Kepri, Datuk Alfian dan Datuk Anwar, memperlihatkan langsung pembuatan Astakona. Proses ini bukan sekadar estetika, tapi juga filosofis.
Tak hanya itu, ada juga masukan menarik dari penguji, Khairul. Katanya, Astakona memang dikenal juga di Banjarmasin. Namun, bentuk, fungsi, dan tekniknya beda. Saran pun muncul: beri nama khas, semacam “Astakona Tanjungpinang”.
“Semoga warisan ini dapat dipertahankan di hadapan penguji pusat. Tahap akhir penilaian dijadwalkan berlangsung di Jakarta pada Agustus mendatang,” ucap Khairul.
Sementara itu, Fitri Yulisa dari Dinas Kebudayaan Provinsi Kepri berharap semangat ini tidak berhenti sampai di sini. Ia ingin tahun depan lebih banyak usulan budaya dari kabupaten/kota di Kepri.
Ketika warisan tak sekadar diturunkan, tapi juga diperjuangkan.
Laporan: Seka
Editor: Fikri
Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan media Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.