
Penulis: Encik Ryan Pradana Fekri, ST.,M.PWK. Praktisi di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dan juga merupakan Pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Nasional Bandung serta merupakan anggota Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Indonesia.
Kabupaten Lingga hingga hari ini masih menghadapi tantangan pembangunan wilayah yang kompleks. Kondisi nyata yang dapat dilihat dari data Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) pada tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Kabupaten Lingga memiliki skor IDSD 3,55 dengan kategori daya saing sedang atau menengah. Tantangan pembangunan yang kompleks ini semakin terlihat nyata ketika dilihat dari dua indikator dasar lainnya.
Jika menakar capaian pembangunan Kabupaten Lingga berdasarkan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Angka Kemiskinan yang merupakan indikator dasar pembangunan wilayah serta tolok ukur kesejahteraan yang esensial. IPM Kabupaten Lingga pada tahun 2024 yaitu 73,05 menjadi yang terendah di Provinsi Kepulauan Riau. Begitu pula dengan Angka Kemiskinan yang mencapai angka 9% merupakan yang tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau.
Bertransformasi atau Terbelenggu?
Dua data ini bukanlah statistik yang berdiri sendiri, melainkan konsekuensi logis dari lemahnya kemampuan daya saing Kabupaten Lingga. IPM yang tertinggal mencerminkan kegagalan sistemik dalam mengonversi potensi sumber daya alam menjadi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, sementara kemiskinan yang tinggi menunjukkan bahwa kapasitas ekonomi daerah yang masih rendah. Fakta bahwa Kabupaten Lingga berada di posisi “juru kunci” dalam klasemen pembangunan wilayah Provinsi Kepulauan Riau ini memberi peringatan bahwa adanya masalah struktural yang tidak akan terpecahkan dengan pendekatan pembangunan yang business as usual.
Pertanyaan kritisnya bukan lagi sekedar apakah Kabupaten Lingga bisa berkembang? tetapi apakah Kabupaten Lingga memiliki kapasitas dan kemampuan bertransformasi secara fundamental untuk keluar dari masalah struktural yang membelit dan siklus ketertinggalan pembangunan wilayah?. Paradigma pembangunan yang selama ini berjalan, kerap terjebak pada euforia proyek fisik berjangka pendek yang belum menyentuh akar persoalan.
Akumulasi Masalah yang Berlapis
Akar masalah pertama terletak pada kebijakan yang belum optimal dalam menggarap potensi lokal daerah. Kabupaten Lingga dikarunai kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, mulai dari hasil laut, perkebunan, hingga berbagai situs bersejarah yang merupakan modal dasar untuk mengembangkan ekonomi daerah. Namun, pendekatan pembangunan cenderung masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dengan pengembangan potensi lokal daerah.
Program peningkatan produktivitas perikanan misalnya, belum terintegrasi secara sinergis dengan pengembangan pariwisata bahari dan industri pengolahan hasil perikanan skala kecil, menengah maupun besar. Akibatnya, dampak multiplier effect dari setiap program menjadi minim dan tidak memiliki nilai tambah. Nelayan hanya menjadi pemasok bahan baku mentah, sementara nilai tambah ekonomi justru dinikmati oleh daerah atau pelaku usaha di luar Kabupaten Lingga.
Kondisi ini juga diperparah oleh terbatasnya infrastruktur dasar, seperti listrik, air bersih, jaringan telekomunikasi, jaringan jalan, jembatan, dan konektivitas antarpulau yang masih belum optimal. Sehingga menghambat efisiensi produksi dan distribusi, serta mengurangi daya tarik bagi investasi. Lemahnya kapasitas fiskal daerah juga menjadi penghambat utama, pendapatan daerah Kabupaten Lingga 88% ditopang oleh dana transfer dari pusat yang sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai, bukan untuk pembangunan infrastruktur publik dan program peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, koordinasi yang tidak optimal antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mengakibatkan program pembangunan berjalan secara parsial dan tidak sinergis. Keadaan ini semakin diperberat oleh lemahnya perencanaan berbasis data serta konsistensi pada visi pembangunan daerah. Pendekatan top down yang masih dominan dalam perencanaan juga menyebabkan aspirasi dan kebutuhan rill masyarakat di tingkat desa kurang terakomodasi.
Transformasi Paradigma Pembangunan Daerah
Adanya kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pembangunan daerah Kabupaten Lingga ini, maka diperlukan lompatan strategis yang bersifat holistik dan integratif. Pertama, adalah dengan merancang ulang model pembangunan yang berfokus pada pembangunan manusia dan kelembagaan. Peningkatan akses dan kualitas layanan dasar di bidang kesehatan serta pendidikan harus menjadi prioritas utama, didukung oleh program pelatihan vokasi yang link and match dengan sektor unggulan daerah agar mampu menciptakan lapangan kerja berbasis potensi lokal.
Kemudian pemerintah daerah perlu mengoptimalkan pengelolaan potensi lokal dengan menerapkan konsep pengembangan klaster ekonomi. Misalnya, mengintegrasikan kawasan sentra produksi perikanan dengan industri pengolahan ikan, pemasaran yang modern, dan destinasi wisata bahari. Pendekatan klaster ini akan menciptakan rantai nilai yang dapat meningkatkan kapasitas ekonomi daerah, menambah nilai ekonomi, dan membuka banyak lapangan kerja bagi masyarakat.
Pembenahan infrastruktur dasar khususnya akses air bersih, jaringan listrik, telekomunikasi, jaringan jalan, jembatan, dan infrastruktur konektivitas laut yang andal mutlak dilakukan. Pemerintah daerah dapat melakukan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau memanfaatkan dana desa untuk proyek-proyek infrastruktur skala kecil yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Ketergantungan pada dana transfer pusat harus secara bertahap dikurangi dengan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini dapat dicapai dengan mendorong masuknya investasi pada sektor unggulan daerah, memperbaiki sistem pengelolaan pajak dan retribusi daerah, serta memberdayakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola aset daerah secara lebih profesional dan profit oriented. Alokasi belanja daerah juga perlu dirombak, dengan memprioritaskan belanja modal dan belanja langsung yang pro-pertumbuhan ekonomi dan pro-pemerataan pembangunan, bukan belanja pegawai.
Tata kelola pemerintahan daerah juga harus akuntabel, transparan, dan partisipatif. Pemerintah daerah perlu membangun sistem perencanaan yang inklusif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam menyusun rencana pembangunan daerah. Penguatan sistem monitoring dan evaluasi berbasis kinerja untuk memastikan setiap program pembangunan berjalan sesuai target dan memberikan dampak yang terukur. Melalui tata kelola pemerintahan yang baik, kepercayaan publik dan dunia usaha akan meningkat sehingga akan menarik banyak investasi masuk ke Kabupaten Lingga.
Kuncinya terletak pada peralihan paradigma pembangunan dengan fokus pada penguatan kapasitas daerah yang tepat sasaran dan eksplorasi daya saing yang berbasis pada kekuatan lokal. Komitmen serta konsistensi pada rencana pembangunan jangka panjang daerah akan menentukan arah pembangunan Kabupaten Lingga ke depan, bukan tidak mungkin Kabupaten Lingga akan meninggalkan status “juru kunci” dan menjelma menjadi salah satu kabupaten yang berdaya saing tinggi di Provinsi Kepulauan Riau.