
KUTIPAN – Ada satu hal menarik dari dunia birokrasi, di tengah tumpukan laporan, surat menyurat, dan rapat yang tak kunjung reda, kadang muncul secercah ide yang tak biasa. Ide itu tidak datang dari laboratorium riset mahal, bukan pula hasil konsultan berbayar miliaran. Tapi dari sesuatu yang sederhana, dari talam makan bersama.
Begitulah awal kisah “Talam Sehidang”, inovasi digital yang lahir dari tangan Suhadi, S.Sos., M.Si, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau.
Inovasi ini ia ceritakan dalam obrolan santai bersama Inidie Channel di Cafe Orang Rumah, Tanjungpinang, Minggu (2/11/2025).
Bagi orang Melayu, makan dalam satu talam bukan cuma urusan perut. Ada filosofi yang dalam, berbagi rasa, duduk sejajar, dan tidak membeda-bedakan siapa yang di samping kita. Lima orang, satu talam, satu rasa.
Nah, filosofi ini rupanya menempel kuat di kepala Bang Suhadi. “Talam Sehidang itu simbol daerah Melayu,” katanya, tersenyum tipis sambil mengingat masa-masa kenduri kampung. “Dulu orang duduk bareng makan, sambil tukar cerita. Nah sekarang kita duduknya di dunia digital, tapi tetap berbagi rasa lewat data.”
Dari situ ia berpikir, kalau dulu talam jadi wadah makan bersama, kenapa sekarang tidak dijadikan wadah berbagi data bersama?
Maka lahirlah Talam Sehidang, yang ternyata bukan cuma nama puitis, tapi juga akronim dari “Data Pelayanan Manajemen Sekolah Siap Tayang.” Lucu tapi serius. Khas Melayu, santai tapi maknanya dalam.
Sebelum ada “Talam Sehidang”, urusan laporan sekolah itu bisa bikin kepala berasap. Bayangkan, kepala sekolah harus mengetik laporan bulanan, mencetaknya, menandatangani, lalu mengirim ke Tanjungpinang naik kapal cepat. Kalau ombak besar? Ya tunggu minggu depan.
“Dulu orang bergerak, datanya diam. Sekarang, barang tak bergerak, datanya jalan,” kata Suhadi, kalem tapi menusuk logika.
Inovasi ini, kata dia, sebenarnya tidak serumit aplikasi raksasa yang butuh programmer. Ia hanya memanfaatkan fitur gratis dari Google Workspace: mulai dari Google Sheets, Google Forms, sampai Google Sites.
“Orang kadang anggap aplikasi itu mesti bikinan programmer. Padahal, fitur yang sudah ada di Google saja, kalau dimanfaatkan dengan cerdas, bisa jadi sistem pelayanan data,” ujarnya.
Sederhana, tapi mengubah cara kerja. Sekolah tak perlu lagi kirim tumpukan kertas. Semua data, mulai dari guru, siswa, sarana, prasarana, sampai prestasi, bisa diunggah dari laptop atau HP. Tak perlu tinta, tak perlu ongkos kapal. Hanya butuh koneksi internet dan niat baik.
Di dalam Talam Sehidang, datanya selengkap lauk kenduri, ada profil sekolah, jumlah guru, bidang ajar, golongan, sampai jumlah siswa per kelas. Ada juga daftar prestasi mulai dari OSN (Olimpiade Sains Nasional) sampai FLS2N dan O2SN karena dunia pendidikan bukan cuma soal angka, tapi juga seni dan olahraga.
Dan yang paling menarik, ada kolom alumni. Iya, alumni!. Sistem ini bisa menelusuri ke mana para lulusan sekolah itu pergi setelah tamat. Kuliah di mana, kerja di mana, atau justru butuh perhatian pemerintah karena belum terserap kerja.
“Data itu penting. Kita bisa tahu mana anak-anak yang sudah sukses, mana yang perlu dibantu,” ujar Suhadi.
Dengan sistem ini, Dinas Pendidikan tak lagi menebak-nebak nasib lulusan. Semua terekam dengan rapi di satu platform. Seperti talam, semua kebagian tempatnya masing-masing.
Tentu saja, bicara data tidak bisa lepas dari soal keamanan. “Sekolah boleh melihat data sekolah lain, tapi tidak bisa mengubahnya,” tegas Suhadi. Akses penuh hanya dimiliki oleh kepala sekolah dan operator melalui email resmi.
Dengan begitu, Talam Sehidang tetap jadi ruang makan bersama, tapi piringnya masing-masing. Kita bisa saling tahu, tapi tak bisa sembarang nyendok lauk orang lain.
Sebelum sistem ini dijalankan, Suhadi mengaku sudah melakukan sosialisasi ke seluruh SMA, SMK, dan SLB di bawah cabang dinasnya.
“Kita jelaskan manfaatnya. Setelah tahu efisiensinya, semua kepala sekolah langsung semangat,” katanya.
Suhadi sadar, zaman sudah berubah. Pegawai negeri kini tak bisa lagi hanya duduk di belakang meja menunggu laporan masuk.
“Sekarang eranya aksi perubahan. Kita harus berinovasi untuk mempermudah pelayanan,” ujarnya.
Dan begitulah “Talam Sehidang” menjadi bentuk nyata birokrasi yang bergerak tanpa banyak pidato. Ia tidak menunggu perintah dari pusat, tidak menunggu anggaran khusus, tapi memanfaatkan apa yang ada—sesuai falsafah Melayu: “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Kalau dipikir-pikir, ide ini sebenarnya sederhana tapi punya makna besar. Di tengah era digital yang sering membuat manusia makin individualistis, “Talam Sehidang” mengingatkan kita bahwa teknologi pun bisa berjiwa gotong royong.
Bahwa di balik angka-angka dan spreadsheet, masih ada nilai-nilai kebersamaan yang menjiwai. Bahwa modernisasi tak harus meninggalkan budaya sendiri.
Karena seperti kata Bang Suhadi, “Talam Sehidang itu bukan sekadar data, tapi cara kita duduk bersama. Dulu di bawah langit kampung, sekarang di bawah jaringan internet.”
Dan begitulah, di Lingga, dari tangan seorang kepala cabang dinas yang sederhana, filosofi makan bersama berubah jadi platform pendidikan digital. Bukan sekadar aplikasi, tapi cerita tentang bagaimana budaya dan teknologi bisa bersanding dalam satu talam.





