
KUTIPAN – Desa Tinjul, Kabupaten Lingga—konflik lahan kembali membuka luka lama soal siapa yang benar-benar punya hak atas sepetak tanah. Tanah yang tak bicara, tapi bisa bikin manusia saling tuduh, bahkan saling ancam. Beberapa hari lalu, tanah itu “bicara” dalam bentuk empat orang yang kini harus mengenakan rompi tahanan.
Polres Lingga menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam konflik lahan yang terjadi di Desa Tinjul. Penetapan ini diumumkan oleh Kapolres Lingga, AKBP Pahala Martua Nababan di Mako Polres Lingga pada Rabu 7 Mei 2025.
“Untuk saat ini kami telah menahan 4 orang yang melakukan tindakan melanggar hukum. Inisial M dan tiga temannya itu sudah kami tetapkan sebagai tersangka dan telah kami tahan,” ujarnya tegas.
Tapi tak seperti film aksi, atau seperti video yang beredar viral kala konflik itu bermula, M dan rekan-rekannya tampak ngamuk-ngamuk di lahan yang sengketa itu, si M tampak membawa parang dan rekan-rekannya ngamuk-ngamuk tidak ketulungan pada warga yang masih family nya Amren dan Abu Bakar (si pelapor). Pada saat proses penangkapan, kata AKBP Pahala, berlangsung adem, tak ada perlawanan
“Saudara-saudara kita yang kami jadikan tersangka sangat kooperatif,” lanjut Kapolres.
Apa yang mereka lakukan sampai ditangkap polisi? Rupanya bukan perkara kecil. Mereka membawa senjata tajam, mengancam, hingga mencabut puluhan pohon kelapa sawit milik pelapor, Amren dan Abu Bakar.
“Dalam kejadian itu, M bersama tiga orang lainnya datang ke lokasi. Ada yang membawa parang, ada yang mengancam, dan ada yang mencabut pohon sawit yang ditanam di sana,” jelas Pahala.
Bayangkan: sawit, tanaman yang biasanya jadi sumber rezeki di pedesaan, malah jadi saksi perusakan. Bukan karena hama, tapi karena konflik.
Akar masalah ini, seperti banyak konflik lahan lainnya di Indonesia, berawal dari sengketa kepemilikan. Mediasi sempat dicoba, dari tingkat desa hingga Polsek Singkep Barat. Tapi gagal. Jalan damai seperti tertutup kabut.

“Kami sudah mencoba menyelesaikan secara damai, baik di tingkat desa maupun melalui Polsek Singkep Barat. Tapi tidak berhasil,” ujar Amren, salah satu pelapor pada Senin 21 April 2025.
Amren mengaku sudah mengelola lahan itu sejak 2002. Klaimnya bukan main-main. Ia menyebut punya surat kuasa, akta jual beli, sertifikat hak pakai, hingga bukti pembayaran PBB. Satu set dokumen yang biasa jadi tameng ketika ada yang datang mengklaim ulang hak atas tanah.
Namun, seperti banyak cerita di pelosok, dokumen sering tak cukup untuk membuat semua pihak sepakat. Lahan yang diam bisa berubah jadi medan perang diam-diam.
Pihak Amren dan Abu Bakar tak tinggal diam. Mereka memilih jalur hukum. Lewat kuasa hukum Agustinus SH, MH, laporan resmi dilayangkan pada Senin, 21 April 2025. Bahkan, menurut Agustinus, mereka sudah berada di Polres dari pukul 10.00 sampai 16.45 WIB. Satu hari penuh untuk mengurai satu persoalan.
“Kami berharap Polres Lingga dapat memproses kasus ini secara profesional dan sesuai koridor hukum yang berlaku, agar keadilan juga bisa dirasakan oleh masyarakat kecil,” tegas Agustinus.
Kalimat terakhir itu punya bobot. Karena dalam banyak kasus konflik lahan, masyarakat kecil sering berada di ujung paling lemah. Tak bersuara, atau tak cukup terdengar. Maka ketika ada upaya menempuh jalur hukum, ada harapan bahwa hukum benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar prosedur.
Konflik ini mungkin hanya sepotong kisah dari desa kecil di Kepulauan Riau. Tapi ia berbicara banyak soal bagaimana tanah bisa mempertemukan orang lewat konflik, dan bagaimana hukum diharapkan hadir bukan untuk menambah luka, tapi mengobatinya.
Laporan: Yuanda Editor: Fikri Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan.