
KUTIPAN – Di tengah geliat pembangunan Kota Batam yang makin padat, ada satu cerita yang luput dari hiruk-pikuk: sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang justru makin kekurangan tenaga pendidik dan ruang belajar. Cerita ini datang dari Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Batam, yang belakangan tak cuma kekurangan kelas, tapi juga terancam tidak bisa melayani 34 peserta didik secara optimal. Bahkan, kondisi terburuknya, mereka bisa saja harus dirumahkan sementara.
Masalahnya sederhana tapi dampaknya panjang: tiga guru di SLBN Batam tak lagi bisa mengajar. Dua guru tak lulus PPPK sehingga SK mereka berakhir pada 31 Oktober 2025. Sementara satu guru lain segera memasuki masa pensiun pada Februari 2026. Situasi ini membuat sekolah yang seharusnya jadi tempat paling aman untuk belajar justru menghadapi krisis SDM.
Surat Analisis Kebutuhan Guru tahun 2024 yang terbit pada 27 Februari 2025 mencatat bahwa sekolah masih butuh 32 guru tambahan agar layanan pembelajaran sesuai standar anak berkebutuhan khusus bisa berjalan. Rasio ideal SLB sebetulnya cukup jelas: SDLB 1:5, SMPLB 1:8, dan SMALB 1:8. Tapi di Batam, angka itu masih jauh dari harapan.
Kekurangan guru ternyata berpasangan dengan persoalan klasik lainnya: minimnya ruang kelas. Berdasarkan analisis kebutuhan ruang, sekolah seharusnya memiliki 51 ruang untuk 51 rombongan belajar di tiga jenjang. Tapi faktanya hanya ada 15 ruang kelas yang tercatat di Dapodik. Artinya masih kurang 36 ruang untuk mencapai standar minimal sarana prasarana pendidikan khusus.
Isu ini akhirnya sampai ke meja Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kepri. Pada 18 November 2025, Ombudsman menggelar Focus Group Discussion (FGD) melalui Keasistenan Pemeriksaan Laporan di Hotel Asialink. Pertemuan ini dihadiri 11 instansi, mulai dari Ketua Komisi IV DPRD Kepri, Kepala BPMP, Dinas Pendidikan, hingga organisasi penyandang disabilitas.
Di forum itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kepri, Dr Lagat Siadari, menegaskan bahwa persoalan SLBN Batam bukan sekadar administrasi, tapi menyangkut pelayanan dasar negara kepada anak disabilitas. Menurutnya, masalah ini perlu perhatian serius karena berdampak langsung pada pelaksanaan pendidikan inklusif serta layanan individual bagi berbagai jenis ketunaan.
Dinas Pendidikan Provinsi Kepri bahkan mengungkapkan fakta yang cukup membuat dahi berkerut: hampir 30 calon siswa terpaksa ditolak dua tahun terakhir karena ruang kelas tidak mencukupi. Sementara Komisi IV DPRD Kepri mengingatkan bahwa pertumbuhan penduduk Batam mencapai 2,3%, sehingga kebutuhan SLB akan semakin mendesak di masa depan.
Perwakilan SLBN Batam, orang tua, hingga Komite Nasional Paralimpik Indonesia Kepri juga menguatkan gambaran kondisi di lapangan. Masih ada kelas yang rusak, pembelajaran terganggu karena tiga jenjang ketunaan digabung dalam satu ruang, dan sarana belajar yang belum memadai. Mereka berharap negara hadir sepenuhnya, sesuai amanat Undang-Undang 8/2016 yang mewajibkan pemenuhan hak pendidikan bagi anak disabilitas.
Dalam forum itu, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kepri menegaskan kembali, “Penambahan tenaga pendidik dan pembangunan ruang kelas baru harus direalisasikan, agar SLB dapat memberikan layanan pendidikan yang layak, aman, dan sesuai dengan standar pelayanan minimal bagi peserta didik berkebutuhan khusus.”
Soal guru, Badan Kepegawaian Daerah menyampaikan bahwa formasi sedang diinventarisasi untuk diajukan ke KemenPAN-RB. Sementara terkait ruang kelas, pemerintah sebenarnya telah membangun gedung SLB baru di Sei Beduk, hanya saja bangunannya belum memenuhi standar sehingga memerlukan berbagai penyesuaian.
Komisi IV DPRD Kepri juga mengusulkan pemanfaatan aset PLA untuk kebutuhan SLBN, meski mengakui bahwa anggaran yang tersedia masih belum sebanding dengan kebutuhan nyata di lapangan. Di sisi lain, Badan Keuangan dan Aset Daerah menjelaskan bahwa proses pemecahan lahan sekolah masih berlangsung, termasuk pengecekan lapangan dan penyusunan MoU untuk dasar hukum penggunaan lahan tersebut.
BPMP Kepri menyampaikan kesiapannya mendukung pembangunan SLBN baru asalkan lahan legal dan memadai sudah disiapkan. FGD yang dipimpin Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kepri itu ditutup dengan penyampaian hasil pemeriksaan IAPS yang rencananya akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kepri pada Desember 2025.





