
KUTIPAN – Hari Waisak, biasanya identik dengan hening, doa, dan refleksi. Tapi di Lapas Kelas III Dabo Singkep, ada tambahan momen lain: pengurangan masa tahanan alias remisi. Satu warga binaan yang beragama Buddha mendapatkan “hadiah kecil” berupa pemotongan masa hukuman selama satu bulan, Senin (12/5/2025).
Bukan asal potong. Kepala Lapas Dabo Singkep, Jaka Putra, menjelaskan kalau remisi ini diberikan setelah warga binaan tersebut memenuhi syarat administratif dan substantif. Artinya, berperilaku baik dan aktif dalam kegiatan pembinaan spiritual, tidak cukup cuma rajin angkat jemuran atau sopan sama sipir.
Di ruang aula Lapas, pemberian remisi dilakukan secara simbolis, dengan suasana formal namun sarat makna. Jaka Putra tak hanya menyerahkan remisi, tapi juga membacakan sambutan resmi dari Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto.
Ada satu kutipan menarik dari sambutan menteri ini, yang rasanya perlu direnungkan dalam-dalam:
“Pemberian remisi bukan hanya sebagai bentuk penghargaan dari pemerintah tetapi juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak-hak warga binaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Nah, logikanya begini: meski sedang menjalani masa hukuman, para narapidana tetap punya hak-hak yang harus dihormati. Negara, lewat aturan resminya, mengakui bahwa manusia, seberat apapun kesalahannya, tetap berhak diberi peluang memperbaiki diri. Remisi adalah salah satu bentuk peluang itu.
Lebih jauh, pemberian remisi ini juga didorong oleh tujuan yang lebih mulia: supaya warga binaan tak kehilangan harapan. Dalam sambutan Menteri Agus yang dibacakan Kalapas Jaka, ditekankan pentingnya peran aktif warga binaan dalam proses pembinaan.
Tidak sekadar diam dan menunggu waktu habis, tapi menjalani masa pidana sambil memperbaiki kualitas diri. Harapannya, setelah keluar, mereka bisa jadi pribadi yang lebih siap berkontribusi positif di tengah masyarakat. Berat? Tentu. Tapi setidaknya pemerintah mengupayakan jalannya.
Kalapas Jaka Putra menutup sambutannya dengan harapan sederhana tapi dalam: supaya penerima remisi ini semakin memperkuat iman, meningkatkan kualitas diri, dan terus memperbaiki hidup. Karena memang begitulah seharusnya: hukuman bukan hanya untuk membalas, tapi juga untuk memperbaiki.
Apalagi dalam momen suci seperti Waisak, yang memang mengajarkan tentang pertobatan, kesabaran, dan perubahan. Ada harapan besar bahwa warga binaan yang mendapat remisi ini kelak akan membuktikan, bahwa satu bulan potongan hukuman itu bukan cuma pengurangan waktu, tapi awal dari babak baru yang lebih baik.
Kalau dipikir-pikir, proses pemberian remisi ini, sekilas sederhana. Cuma surat keputusan, pengurangan masa tahanan. Tapi dalam konteks kemanusiaan, itu mengandung kepercayaan. Kepercayaan bahwa manusia bisa berubah. Dan di era sekarang, kepercayaan semacam itu jadi barang mahal.
Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos: Lingga Pikiran Rakyat atau Kutipan.co.