
Mungkin orang-orang kota menganggap perpustakaan sebagai tempat yang sunyi, adem, dan penuh literasi. Tapi di Desa Bakong, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, cerita tentang ruang perpustakaan di SMP Negeri 2 Singkep Barat justru berlawanan arah. Atapnya bocor. Flapon alias plafonnya rusak. Tapi anehnya, anak-anak di sekolah ini tetap menjadikan ruang itu sebagai tempat baca.
Mungkin bukan karena nyaman, tapi karena tak ada pilihan lain. Di tengah keterbatasan, anak-anak itu menjadikan puing-puing literasi sebagai tempat berteduh dari minimnya akses pengetahuan.
Ini bukan sekadar cerita atap bocor dan flapon yang menganga, ini tentang bagaimana infrastruktur pendidikan di daerah masih dianggap enteng oleh banyak pihak. Padahal, semangat baca dan belajar itu bisa tumbuh dari tempat mana saja asal diberi dukungan, bukan cuma dilirik waktu ada lomba literasi atau kunjungan pejabat.
Mewahnya Mimpi Punya Perpustakaan Layak
Bagi sebagian orang, perpustakaan sekolah yang lengkap dan adem mungkin hal biasa. Tapi di SMP Negeri 2 Singkep Barat, punya ruang baca dengan atap yang nggak bocor saja sudah seperti kemewahan. Letaknya di Desa Bakong, desa kecil yang jauh dari sorotan dan pusat keramaian. Kalau hujan turun, air netes dari atas, bukan dari dispenser.
Yang bikin pilu, ruang perpustakaan yang atapnya bocor itu masih dipakai juga. Bukan buat simpan peralatan rusak atau arsip yang sudah kadaluarsa, tapi buat baca. Buat belajar. Tempat berteduh dari dunia luar yang makin tak ramah pada anak-anak desa.
Flapon Jebol, Literasi Tumbuh di Tengah Debu
Flapon ruang perpustakaan itu sudah bukan rusak biasa. Kalau kata anak-anak sekarang, itu sudah “rusak parah, tidak bisa diperbaiki kecuali direnovasi total.” Tapi ya, nyatanya, belum ada renovasi. Belum ada sentuhan tangan dari pemerintah atau pihak-pihak yang terlibat dalam urusan pendidikan.
Anak-anak tetap membaca di ruang itu. Mungkin sambil sesekali mengibaskan debu dari halaman buku atau memindah posisi duduk karena takut tetesan air hujan merusak halaman yang sedang mereka baca. Di tengah kondisi seperti itu, mereka tetap tekun. Bukan karena terpaksa, tapi karena haus akan ilmu.
Dari Desa Bakong, Anak-anak Bertahan dengan Buku
Desa Bakong bukan desa yang masuk headline media tiap pekan. Tapi justru dari tempat yang sunyi ini, ada semangat yang tidak kalah keras dari gemuruh motivasi anak-anak kota. Di tengah keterbatasan, anak-anak SMP Negeri 2 Singkep Barat tetap menjadikan buku sebagai teman. Mereka belajar dari lembar perlembar halaman buku yang mulai usang, dari rak buku yang berderit, dan dari ruang baca yang lebih mirip gudang tempat menyimpan barang-barang rongsokan.
Kalau saja ruang itu diperbaiki, bisa jadi bukan cuma semangat baca yang tumbuh, tapi juga semangat menulis, berdiskusi, dan bermimpi lebih tinggi. Tapi untuk sampai ke titik itu, mereka harus menunggu entah sampai kapan.
Pemerintah Daerah, Mari Singgah ke Sekolah Ini
Boleh dong, kita bertanya: kapan terakhir kali pejabat pendidikan daerah datang dan benar-benar melihat kondisi sekolah-sekolah di desa? Bukan buat foto-foto seremonial, bukan buat potong pita peresmian toilet baru, tapi benar-benar duduk dan mendengar dari siswa serta guru.
Ruang perpustakaan yang bocor itu seharusnya bukan dibiarkan sebagai “biasa saja”. Ia adalah cermin dari perhatian kita terhadap masa depan. Kalau kita diam, berarti kita ikut merestui rusaknya infrastruktur pendidikan di daerah.
Literasi Bukan Sekadar Seremonial
Kita sering mendengar jargon “Merdeka Belajar”, “Gerakan Literasi Sekolah”, atau “Minggu Literasi Nasional”. Tapi kalau ruang bacanya rusak, bukunya terbatas, dan perhatian pejabat minim, semua itu hanya jadi bendera tanpa tiang.
Anak-anak SMP Negeri 2 Singkep Barat sudah berjuang sejauh ini dengan kondisi yang ada. Yang mereka butuhkan bukan slogan, tapi aksi nyata. Perbaikan atap. Penggantian flapon. Rak buku baru. Kursi baca yang layak. Hal-hal kecil yang dampaknya bisa besar kalau diberikan pada tempat yang tepat.
Penulis: Akhlil Fikri