
KUTIPAN – Pemerintah Provinsi Jawa Barat baru saja bikin gebrakan. Lewat Surat Edaran Nomor 51/PA.03/Disdik tertanggal 23 Mei 2025, pelajar resmi nggak boleh keluyuran di luar rumah mulai pukul 21.00 sampai 04.00 WIB. Tujuannya mulia, katanya demi membentuk generasi muda yang “Cageur, Bageur, Bener, Pinter, dan Singer”—alias sehat, baik, jujur, pintar, dan terampil. Ya, konsep “Panca Waluya” ini emang cakep kalau dibaca, tapi pertanyaannya: praktiknya bakal sejalan?
Aturan ini memang nggak kaku-kaku amat. Masih ada pengecualian buat kegiatan resmi sekolah, acara keagamaan yang diketahui orang tua, dan kondisi darurat. Tapi tetap aja, banyak yang langsung waswas, apalagi kalangan yang biasa punya kegiatan produktif di malam hari. Teater, latihan band, diskusi seni, atau lomba debat seringnya memang hidup pas matahari sudah tenggelam.
Di Tasikmalaya, Wakil Wali Kota Diky Chandra ikut bersuara. Beliau sih dukung penuh niat baik dari pemprov. “Kami mengapresiasi langkah pemerintah provinsi yang berupaya menanamkan nilai-nilai disiplin melalui penerapan jam malam. Namun, kami juga menekankan pentingnya kejelasan implementasi di lapangan agar tidak timbul kebingungan di masyarakat,” katanya, Sabtu (31/5/2025).
Nggak cuma dukung dari jauh, Pemkot Tasik juga udah bergerak cepat. Katanya udah koordinasi sama Dinas Pendidikan dan bikin tim pengawas gabungan—isinya perwakilan sekolah, Satpol PP, dan polisi. Tugasnya? Bukan cuma ngasih teguran, tapi juga jadi pendamping edukatif buat pelajar yang kena tilang jam malam.
Yang keren, pendekatan Pemkot Tasik ini nggak cuma mau jadi polisi moral. Mereka juga janji mau ngasih ruang buat kegiatan positif. “Kami akan memastikan bahwa setiap langkah pelaksanaan di lapangan tak sekadar melakukan penertiban administratif, tetapi juga memberikan ruang untuk kegiatan positif melalui alternatif ruang kreatif dan fasilitas olahraga atau budaya,” lanjut Diky.
Tentu aja peran orang tua dan masyarakat juga digandeng. Intinya, aturan ini jangan sampai kesannya kayak pengekangan. Harus dipahami sebagai cara bantu anak-anak jadi pribadi yang kuat karakternya. Kalau ada yang pengin manggung teater atau ikut lomba seni malam-malam, tetap bisa—asal acaranya resmi.
“Kami berharap dengan adanya pengecualian tersebut, kegiatan seperti pertunjukan teater, lomba olahraga, atau aktivitas keagamaan tidak terhenti. Hal ini tentu akan mendukung tumbuh kembang potensi positif para pelajar,” jelasnya lagi.
Meski dukungan bermunculan, dari kalangan seni juga ada yang angkat suara. Mereka khawatir, aktivitas kreatif yang sering baru hidup pas malam malah terhambat. Untungnya, regulasi ini masih fleksibel dan akan terus dievaluasi. Kata Diky, “Kami membuka ruang dialog dengan seluruh stakeholder, termasuk pelaku seni dan budaya, guna memastikan bahwa implementasi kebijakan ini tidak merugikan berbagai kegiatan produktif anak muda.”
Evaluasi berkala juga dijanjikan. Biar bisa tahu apakah kebijakan ini sukses atau malah bikin ribet. Kata Diky, “Keterlibatan lintas sektor dan sinergi antara pemerintah, sekolah, serta masyarakat adalah kunci keberhasilan kebijakan ini. Oleh karena itu, kami akan terus mendampingi dan melakukan monitoring secara intensif.”
Singkatnya, aturan jam malam pelajar ini bukan cuma soal “jangan keluyuran”, tapi juga soal bagaimana membentuk karakter anak muda zaman sekarang tanpa mematikan kreativitas mereka. Kalau sinerginya lancar dan ruang kreatifnya tetap hidup, bukan nggak mungkin generasi Panca Waluya benar-benar jadi nyata—bukan cuma jargon di atas kertas.
Editor: Fikri Laporan: Chandra Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.