
Di saat sebagian besar rakyat sipil masih sibuk terjun ke cicilan paylater dan utang online demi nonton konser K-pop atau beli panci diskon 90 persen, para prajurit Yontaifib 1 Marinir justru terjun dalam arti yang sesungguhnya. Bukan metafora. Bukan juga gaya bahasa hiperbola ala influencer motivational quotes. Tapi literally—mereka terjun dari langit pakai parasut.
Kamis pagi, 10 Juli 2025, udara Pamulang sedang cukup bersahabat. Dan di situlah mereka—sejumlah prajurit elit Korps Marinir—melompat dari Helikopter Bell 412, bukan karena drama atau patah hati, tapi demi mengasah kemampuan bertempur. Sesuatu yang sebenarnya juga dibutuhkan rakyat sipil, mengingat kondisi dompet makin hari makin mirip kantong semar: kecil, dan menyimpan beban kehidupan yang luar biasa.
Latihan ini bagian dari Latihan Satuan Dasar (LSD) II aspek udara, juga Uji Standar Kemampuan Perorangan Lanjutan (SKPL) Triwulan III. Nama programnya panjang, singkatannya ribet, tapi intinya jelas: ini bukan kegiatan sembarangan. Ini bukan acara car free day atau senam Maumere massal di lapangan kelurahan. Ini latihan militer yang keras, disiplin, dan penuh risiko.
Menurut Komandan Batalyon Intai Amfibi 1 Marinir, Letkol Marinir Dave M.H. Lomboan—yang mungkin lebih sering naik heli ketimbang kita naik ojol—latihan ini penting buat menguji ketahanan fisik, kerja sama tim, dan tentu saja… kemampuan terjun. Karena kalau prajuritnya nggak bisa terjun, ya mending daftar komunitas lari pagi daripada jadi pasukan tempur.
Tentu saja, momen ini tidak dilewatkan oleh Komandan Pasmar 1, Brigjen TNI (Mar) Ena Sulaksana. Beliau datang langsung ke lokasi, bukan buat selfie atau live di Instagram, tapi buat memastikan anak buahnya siap tempur. Dan bukan tempur di kolom komentar medsos, tapi tempur sungguhan. Pak Ena bahkan bilang, kemampuan terjun itu modal dasar prajurit Trimedia. Ketelitian, kecepatan, dan pengambilan keputusan yang tepat adalah kunci. Dan saya hanya bisa tersenyum getir, karena saat saya ambil keputusan buat investasi bodong, semua itu nggak ada.
Yang menarik, Yontaifib itu pasukan Trimedia. Mereka bisa tempur di darat, laut, dan udara. Luar biasa. Kita? Paling banter tempur di tiga grup WhatsApp keluarga. Beda medan, beda konflik, tapi tetap sama melelahkan.
Apa yang dilakukan para marinir ini sebenarnya mengajarkan banyak hal, kalau mau jujur. Bahwa kerja keras, kedisiplinan, dan keberanian itu bukan cuma jargon di seminar motivasi. Itu nyata. Dipraktikkan oleh mereka yang setiap hari menghadapi kemungkinan cedera, bahkan kematian, demi menjalankan tugas negara. Bandingkan dengan kita yang kadang ngeluh cuma karena Zoom meeting lewat jam makan siang.
Di tengah euforia masyarakat yang lebih tertarik ngintip drama KDRT selebritas daripada berita pertahanan negara, prajurit Yontaifib 1 Mar tetap latihan. Mereka nggak peduli trending topic, nggak ribut soal bumbu rendang yang katanya nggak autentik. Mereka sibuk latihan biar kita tetap bisa ribut soal hal-hal nggak penting di timeline.
Jadi, ketika mereka terjun bebas dengan parasut dan keberanian, kita yang tiap hari terjun ke drama medsos dan pinjol, sebaiknya mulai mikir: siapa yang benar-benar pantas disebut pejuang?
Karena pada akhirnya, di negeri yang terlalu banyak sandiwara, latihan terjun tempur seperti ini terasa seperti satu dari sedikit hal yang masih tulus dan jujur.
Penulis: Ardhan Suka nonton video militer di YouTube tapi nggak kuat push up lima kali. Hobinya membaca sejarah perang dan menghindari group arisan RT.