
KUTIPAN – Kalau sudah masuk musim hujan, warga Kota Daik, Lingga, pasti sudah pasang mode waspada. Sebabnya bukan cuma karena cuaca jadi galau, tapi karena banjir datang tanpa undangan. Seolah-olah sudah punya jadwal tetap tiap tahun. Tapi, tenang dulu. Tahun ini, ada angin segar—bukan cuma dari hujan, tapi dari Pemerintah Kabupaten Lingga yang mulai bergerak lebih serius.
Lewat Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR), pemerintah daerah menggandeng Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) IV Batam buat ngurus sungai utama di Daik yang selama ini jadi biang kerok banjir. Caranya? Normalisasi sungai sepanjang 2 kilometer. Bukan jarak pendek, dan bukan juga proyek ecek-ecek.
“Alhamdulillah, usulan kami diterima dan saat ini BWSS IV Batam sedang melaksanakan normalisasi sekitar 2 kilometer. Ini merupakan langkah prioritas yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan banjir di Kota Daik,” kata Yusdiandri, S.T, Kepala Dinas PUTR Lingga, Kamis (15/05/2025).
Langkah ini bukan sekadar “biar keliatan kerja”. Ini bentuk nyata komitmen, sekaligus jawaban atas keluhan masyarakat yang tiap tahun harus siap-siap angkat barang ke tempat tinggi begitu air mulai naik. Apresiasi pun diberikan kepada pihak Kementerian PUPR yang merespons cepat usulan dari daerah.

Tapi cerita tak berhenti sampai di situ. Tahun 2025, Pemkab Lingga juga sudah punya rencana jangka menengah: membangun embung di kawasan perkantoran Bupati Lingga yang baru. Fungsinya ganda. Bukan cuma buat cadangan air baku, tapi juga buat nahan air hujan dari hulu Sungai Daik yang sering meluap kalau hujan kelewat semangat.
“Ini merupakan bagian dari program strategis pemerintah daerah. Kami dari Dinas PUTR terus berupaya keras meminimalisir banjir tahunan yang hampir setiap tahun melanda, terutama saat cuaca ekstrem,” jelas Yusdiandri.
Logikanya begini: kalau sungai dibersihkan dan alirannya diperbaiki, ditambah embung yang bisa nahan limpasan air dari hulu, maka peluang banjir bisa ditekan. Bukan dihilangkan total (karena cuaca kadang memang suka brutal), tapi paling tidak dampaknya nggak separah dulu.
Sinergi antara daerah dan pusat ini ibaratnya jadi titik balik. Banjir yang dulu jadi “takdir tahunan”, sekarang mulai ditantang dengan strategi teknis yang lebih masuk akal. Pemerintah nggak cuma minta warga buat “sabar dan tawakal”, tapi juga turun tangan langsung lewat kerja konkret.
Dan ini baru awal. Normalisasi dan embung adalah fondasi. Nantinya bisa berkembang ke pengelolaan air berbasis ekosistem, infrastruktur hijau, dan edukasi publik soal pentingnya menjaga aliran air tetap bersih dan lancar. Karena, seperti biasa, kerja melawan banjir bukan cuma tugas pemerintah—tapi juga butuh partisipasi warga.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
atau https://www.facebook.com/kutipan.dotco/
Laporan: Yuanda Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.