
Kalau biasanya pemimpin daerah lebih doyan main tanda tangan dan potong pita, lain halnya dengan Bupati Lingga Muhammad Nizar dan Wakil Bupati Novrizal. Pada Kamis, 10 Juli 2025, dua orang penting di Kabupaten Lingga ini mendadak muncul di Kantor Kecamatan Lingga Timur dan Puskesmas Sungai Pinang. Bukan untuk kampanye. Bukan juga untuk pencitraan murahan. Tapi buat sidak. Iya, itu loh: inspeksi mendadak. Kayak Ujian Nasional zaman dulu, yang suka bikin deg-degan petugas jaga.
Dan jangan salah, sidak ini bukan sekadar formalitas. Bukan juga ajang “show off” supaya masuk feed Instagram OPD. Tapi lebih ke upaya real untuk memastikan bahwa pelayanan publik nggak cuma bagus di atas kertas, tapi juga nyata dirasakan di lapangan. Karena kata siapa jadi pemimpin itu cuma duduk manis sambil tandatangan disposisi?
Di tengah era birokrasi yang kadang lebih sibuk ngurus seremonial daripada pelayanan, langkah Nizar-Novrizal ini layak dikasih dua jempol, bahkan satu kaki. Karena dalam sistem pemerintahan yang sering kali “mabok laporan”, turun langsung ke lokasi itu semacam revolusi kecil. Mungkin nggak seheroik Che Guevara, tapi di dunia pelayanan publik, ini termasuk aksi gerilya yang patut dicontoh.
Bayangin, daripada cuma baca laporan kinerja yang biasanya penuh angka manipulatif dan kata-kata manis yang bikin diabetes, Nizar dan Novrizal memilih melihat langsung seperti apa wajah pelayanan publik di daerahnya. Kantor camat dicek. Puskesmas disambangi. Petugas dilihat kinerjanya, bukan sekadar dilaporkan.
Tentu, ini bikin banyak orang—terutama yang doyan leha-leha di jam kerja—jadi waswas. Karena ya siapa sih yang mau ketahuan main ponsel di belakang meja, atau pura-pura sibuk ngurus berkas yang isinya cuma map kosong?
Tapi, di luar efek kejutnya, ada makna lebih dalam dari sidak ini. Sebuah pesan tegas tapi halus: bahwa pemimpin itu bukan cuma simbol di spanduk. Mereka adalah pengawas, pelayan, dan penggerak yang nggak ragu turun langsung. Dan ini bukan gaya-gayaan. Ini soal integritas.
Nizar dan Novrizal tampaknya paham betul bahwa pelayanan publik adalah jantung dari kepercayaan masyarakat. Kalau jantungnya lemah, ya rakyat gampang kena stroke: marah-marah karena ngurus surat ribet, atau kesal karena antrean di puskesmas lebih panjang dari antrean konser Coldplay.
Tentu kita nggak bisa langsung berharap semua persoalan pelayanan publik kelar hanya karena satu sidak. Tapi setidaknya ini bisa jadi tamparan halus untuk jajaran birokrat di bawahnya. Bahwa sekarang bukan zamannya lagi main aman di balik meja. Rakyat sekarang makin cerewet, makin sadar haknya, dan makin susah dibohongi dengan pencitraan receh.
Dan satu hal yang menarik: sidak ini dilakukan oleh dua orang—bupati dan wakilnya—secara bersamaan. Di banyak daerah lain, kadang bupati dan wakilnya justru kayak dua kutub magnet: susah nyatu. Tapi di Lingga, justru keduanya kompak kayak duet Ari Lasso dan Once. Ini sinyal penting bahwa kolaborasi pemimpin bisa lebih manjur daripada kerja sendiri-sendiri sambil saling intip kekurangan.
Akhir kata, langkah Nizar dan Novrizal ini layak diapresiasi. Karena di tengah banyaknya pemimpin daerah yang lebih sibuk mikirin TikTok dan desain baliho 2029, mereka memilih cara lama yang tetap relevan: turun ke lapangan dan melihat realitas. Nggak semua pemimpin berani melakukan itu, apalagi kalau tahu realitasnya pahit.
Semoga ini bukan sekadar momen sesaat, tapi jadi tradisi. Karena pemimpin yang baik bukan cuma yang tahu berbicara, tapi juga tahu mendengarkan. Dan mendengarkan itu kadang harus dimulai dengan satu langkah sederhana: datang langsung dan melihat sendiri. Tanpa kamera. Tanpa naskah sambutan. Cuma pakai mata jernih dan telinga yang siap mendengar keluhan rakyat kecil.
Karena, ya, pemimpin sejati itu yang nggak takut kotor demi pelayanan yang lebih bersih.
Penulis: Aryo Sembodo Penyuka kopi tubruk, senang menyelinap ke kantor camat demi mencari wifi gratis, dan percaya bahwa pelayanan publik bisa lebih manusiawi kalau pemimpinnya nggak segan turun tangan.