
KUTIPAN – Di balik barikade polisi yang seringkali diasosiasikan dengan ketegasan, peluit yang nyaring di tengah jalan, atau seragam cokelat yang kerap bikin pengendara was-was saat razia, ternyata ada ruang hangat yang tak banyak orang tahu. Di Singkep Barat, tempat yang sunyinya bisa bersaing dengan suara jangkrik sore hari, sebuah kisah kecil dan sunyi tumbuh pelan-pelan. Bukan tentang operasi tangkap tangan, bukan juga tentang penggerebekan narkoba. Tapi tentang cinta. Tentang anak laki-laki bernama Nando.
Namanya lengkapnya Mery Hernando. Tapi siapa juga yang memanggil Mery untuk anak laki-laki? Maka, cukup panggil dia Nando. Lahir di Dabo pada 21 Januari 2009, Nando adalah potongan kecil dari realita yang sering luput dari statistik pembangunan atau grafik ekonomi.
Ia berasal dari Air Merah, sebuah wilayah yang jika dicari di peta digital pun mungkin butuh sedikit kesabaran ekstra untuk menemukan titiknya. Di sana, kehidupan bukan tentang pilihan, tapi tentang bertahan.
Hidup Nando jauh dari kata cukup. Bahkan, untuk ukuran “sekadarnya” pun ia mungkin belum sampai. Tapi barangkali Tuhan memang tak memberi segalanya sekaligus. Di saat banyak yang sibuk memikirkan target, laporan akhir bulan, dan rencana pensiun, ada satu polisi bernama IPTU Henry Gunawan, Kapolsek Singkep Barat, yang melihat lebih dari sekadar “anak miskin.”
Henry melihat masa depan yang belum sempat tumbuh. Maka alih-alih berpaling dan melanjutkan tugas rutinnya, ia mengambil keputusan yang mungkin tak akan tertulis dalam surat perintah: mengasuh Nando sebagai anak sendiri. Tidak diangkat secara hukum, tapi cukup oleh nurani.
Kisah ini tidak ditulis oleh staf humas Polri dalam siaran pers. Tidak juga diliput dengan gegap gempita oleh media nasional. Tapi ini nyata.
Nando sekarang hidup di bawah bimbingan Polsek Singkep Barat. Seluruh kebutuhannya: makan, pakaian, sekolah, bahkan semangat untuk terus hidup, disuplai oleh orang-orang berseragam cokelat yang biasanya kita lihat dengan ekspresi datar.
Kapolsek Henry menjadi semacam ayah kedua bagi Nando. Tapi bukan ayah biologis, tentu saja. Ia adalah ayah yang muncul dari empati. Dari keputusan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara administrasi negara, tapi sangat sah secara kemanusiaan.
Banyak anak tumbuh dengan cerita bahwa mereka dibesarkan di rumah penuh kasih. Nando mungkin akan tumbuh dengan cerita yang berbeda: bahwa ia dibesarkan di markas polisi.
Tempat yang biasanya menjadi ruang interogasi atau tempat menulis BAP, kini juga jadi tempat seorang anak mengerjakan PR matematika. Tempat di mana pelaku kriminal biasanya dibawa, kini jadi tempat Nando belajar tentang tanggung jawab, kedisiplinan, dan—yang terpenting—cinta.
Ini bukan sekadar kisah mengharukan. Ini tentang bagaimana hukum bisa berdampingan dengan kasih sayang. Tentang bagaimana sosok polisi tidak hanya hadir saat ada keributan, tapi juga ketika ada tangis sepi anak kecil yang tidak tahu harus kemana.
Dalam dunia yang serba tergesa, kita sering lupa bahwa institusi bukan cuma mesin birokrasi. Bahwa Polsek bisa jadi lebih dari sekadar pos pengaduan. Dan bahwa polisi bisa jadi lebih dari sekadar penegak hukum—mereka bisa jadi rumah. Tempat pulang bagi orang-orang yang tak punya tempat pulang.
Di tengah gegap gempita perdebatan soal integritas penegak hukum, atau berita miring soal aparat yang menyalahgunakan jabatan, kisah Kapolsek dan Nando ini jadi seperti embun pagi yang turun diam-diam. Tidak heboh, tapi menyentuh. Tidak viral, tapi seharusnya dikenang.
Semoga Nando tumbuh menjadi anak yang kuat. Bukan hanya karena ia dibesarkan oleh polisi, tapi karena ia tahu betul bahwa di dunia yang keras ini, masih ada hati yang lembut. Masih ada tangan yang memilih untuk menggandeng, bukan menggertak.
Dan semoga, dari Singkep Barat yang sunyi ini, ada cahaya kecil yang menyentuh tempat-tempat lain. Tempat di mana anak-anak seperti Nando masih menunggu seseorang yang mau melihat mereka. Bukan sebagai beban. Tapi sebagai anak.
Laporan: Yuanda Editor: Fikri