
KUTIPAN – Ketua LP3H Mathla’ul Anwar, Arizki Fil Bahri, menegaskan bahwa sertifikat halal tidak memiliki kaitan dengan Sertifikat Laik Higienis Sanitasi (SLHS) maupun Sertifikat Penggunaan Air Layak Pakai (SPAILP).
Kedua dokumen tersebut hanya menyangkut aspek higienis dan kesehatan, sementara sertifikat halal berada di bawah kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Proses sertifikat halal jalurnya berbeda. Pelaku usaha wajib menunjuk penyelia halal dan melewati pemeriksaan lembaga pemeriksa halal. Jadi SLHS dan sertifikat air layak bukan bagian dari syarat administrasi halal,” ujar Arizki.
Kewajiban halal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Aturan tersebut mewajibkan produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan untuk memiliki sertifikat halal.
Kewajiban berlaku sejak 18 Oktober 2024 untuk usaha menengah dan besar, seperti dapur produksi berskala besar (misalnya dapur MBG), usaha kuliner berbentuk CV atau PT, hingga yayasan dan rumah sakit yang menyediakan layanan makanan pasien. Sementara itu, usaha mikro dan kecil (UMKM) diberi masa tenggang hingga 17 Oktober 2026 untuk mengurus sertifikat halal.
Bagi yang melanggar, pemerintah menetapkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penarikan produk dari peredaran pidana bahkan penutupan usaha bila pelanggaran dianggap serius.
Dengan regulasi ini, Arizki mengingatkan agar semua pelaku usaha baik skala mikro, kecil, menengah maupun besar segera menyiapkan dokumen sesuai ketentuan BPJPH. “SLHS dan sertifikat air layak tetap penting untuk sanitasi dan kesehatan, tapi jangan keliru menganggapnya sebagai syarat halal,” tegasnya.