
KUTIPAN – Di Tanjungpinang, urusan tanah selalu jadi cerita klasik yang tak pernah kehilangan babak baru. Dari urusan izin, lahan banjir, sampai kebutuhan makam yang tak pernah surut. Selasa (30/9), Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah menerima kunjungan Kepala Badan Bank Tanah Republik Indonesia, Mehbob, beserta jajarannya di kantor wali kota.
Mehbob datang bukan sekadar silaturahmi. Ia membawa mandat besar: Badan Bank Tanah hadir untuk menjamin pengelolaan tanah negara demi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, serta memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Selain itu, kami berkomitmen untuk mempermudah jalur birokrasi dan mempermudah proses kerja sama pertanahan secara efektif, cepat, dan transparan,” ucapnya.
Lis Darmansyah, dengan gaya khasnya yang lugas, langsung menyambut positif. Menurutnya, kehadiran Badan Bank Tanah bisa jadi mitra strategis Pemkot Tanjungpinang. Bukan hanya soal sertifikasi, tapi juga urusan serius seperti reforma agraria dan pengurangan risiko banjir.
“Badan Bank Tanah sebagai mitra strategis Pemerintah Daerah dalam mendorong percepatan reforma agraria dan penyelesaian permasalahan lahan. Salah satu fokus Pemerintah Daerah adalah upaya pengurangan risiko banjir di wilayah-wilayah rawan. Pembebasan lahan menjadi langkah penting untuk mendukung pembangunan infrastruktur pengendali banjir, termasuk kemungkinan peruntukan lahan untuk area pemakaman yang selama ini menjadi kebutuhan mendesak masyarakat,” ujar Lis.
Ya, soal pemakaman ini memang agak ironis—di kota yang terus tumbuh, lahan kuburan justru jadi komoditas paling sulit.
Lis pun berharap langkah-langkah strategis ini tak berhenti di atas kertas.
“Semoga strategi dan upaya dari Badan Bank Tanah dapat memberikan penyelesaian yang adil serta kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat. Pemerintah Kota siap mendukung setiap proses yang membawa manfaat langsung bagi warga Tanjungpinang,” tambahnya.
Diskusi kemudian masuk ke ranah pelik: pelepasan tanah eks-HGB. Prosesnya belum tuntas karena pembayaran kepada masyarakat terdampak masih macet. Akibatnya, sekitar 800 hektare lahan berstatus HGB dan HGU di Dompak menunggu kepastian hukum agar bisa disesuaikan dengan tata ruang kota.
“Silakan lakukan pengelolaan lahan secara tertib dan merujuk pada data berbasis by name by address, sesuai dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik,” pesan Lis menutup diskusi.
Urusan tanah memang tak pernah sederhana. Tapi dengan kolaborasi erat antar lembaga, setidaknya ada harapan: bahwa masalah klasik yang jadi penghambat pembangunan ini akhirnya bisa terurai demi masa depan Tanjungpinang yang lebih berkelanjutan.