Oleh : Muh. Arifin Wabendum PB HMI
Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Kutipan.co
Kemajemukan masyarakat Indonesia hampir saja mereduksi pemikiran sebagian orang untuk mengkerdilkan peran dari MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hal ini terjadi karena sejak awal sebagian orang terlalu mengkultuskan bahwa MUI hanya wadah yang menjadi sumber pengambilan keputusan keagamaan atau penyelesaian masalah-masalah ritual keagamaan semata. Padahal peran MUI tidak se-organik itu, keberagaman agama, suku bangsa, bahasa dan adat istiadat jika dibandingkan keluasan peran, tugas dan fungsi MUI tentu saja melampaui itu semua.
Sayangnya, dalam persoalan keberagaman yang ada dalam benak sudut pandang umat hanya terfokus pada tiga hal terhadap keberadaan MUI yakni untuk penyelesaian intoleransi, diskriminasi, dan penistaan agama. Sehingga MUI bagi sebagian umat seperti matahari yang terbit setiap pagi, meskipun terlihat begitu terang dan memberikan cahaya, kehadiran MUI jarang dipandang sebagian umat terhadap memikirkan bagaimana proses terbitnya, bagaimana sinarnya terbentuk, dan apa dampaknya bagi kehidupan di muka bumi.
Sebagai gambaran umum, namun ini mendasar untuk diketahui bahwa struktural organisasi Majelis Ulama Indonesia berisikan dari para ahli-ahli, mereka memiliki kepakaran mendalam tentang agama Islam dan juga memiliki pemahaman yang luas tentang isu-isu sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh umat Indonesia mereka adalah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.
Unsur sumber daya manusia yang demikian ini merupakan kebutuhan sangat mendasar untuk menghadapi tantangan keberagaman yang ada di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kondisi saat ini dimana Indonesia masih menempati peringkat ke 53 dari 163 negara sebagai negara paling damai di dunia.
Laporan tahunan Indeks Perdamaian Global (GPI) tahun 2023 yang mengukur tiga indikator poin utama sebagai tolak ukur yaitu keselamatan dan keamanan masyarakat, konflik domestik dan internasional, serta tingkat militerisasi menempatkan negara Islandia sebagai negara paling damai di dunia dengan skor 1,124 poin.
Sementara itu di Asia Tenggara tercatat negara Singapura menepati posisi ke 6, Malaysia (19), Vietnam (41), Laos (46) Thailand (92), dan Filipina ke 115. Indonesia hanya unggul dari Thailand dan Filipina dengan skor masih cukup besar (1,829 poin) dari skala 0 sampai 5.
Sekalipun tantangan begitu jelas didepan mata tetapi MUI untuk memajukan Indonesia yang maju secara ekonomi melalui keberagaman sudah selangkah lebih maju. Pertama, Majelis Ulama Indonesia berperan dalam mendorong kerukunan antar umat beragama dan mempromosikan toleransi dalam masyarakat.
Majelis Ulama Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog antar agama, seminar, dan kegiatan sosial yang mengajak masyarakat untuk saling menghormati perbedaan dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Rangkaian aktivitas ini penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut para ahli, keberadaan lingkungan yang kondusif dapat mendorong meningkatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kondusifisme mengacu pada konsep bahwa kondisi yang kondusif atau mendukung diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, MUI telah memberikan panduan (fatwa) kepada umat dan entitas-entitas usaha serta aktif mempromosikan ekonomi syariah di Indonesia. Ekonomi syariah merupakan arah baru untuk perekonomian Indonesia dan dunia yang menekankan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan.
Majelis Ulama Indonesia telah membantu mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah yang semakin berkembang pesat. Hadirnya panduan ekonomi yang Islami seperti produk-produk asuransi syariah, investasi syariah, saham syariah, sukuk syariah, reksa dana syariah, tabungan syariah, gadai syariah dan produk-produk keuangan syariah lainnya tidak lepas dari peran besar dari MUI melalui Dewan Syariah MUI.
Kontribusi ini terbukti mengantarkan Indonesia sebagai negara peringkat keempat dalam pengembangan keuangan syariah di dunia setelah Malaysia, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab dengan total aset mencapai US$ 99 miliar. Namun hal penting yang perlu dimaknai dengan adanya panduan atau fatwa keagamaan pada aktifitas ekonomi, MUI telah memberikan kerangka kerja dan pedoman bagi umat untuk keluar dari keabu-abuan antara praktik Islamic economies atau conventional economies sehingga tidak menjadi pemicu konflik, karena sering kali terjadinya konflik dalam keberagaman bukan karna perbedaan semata tetapi karna tidak jelasnya antara satu pilihan dengan pilihan yang lain.
Ketiga, MUI juga telah berperan aktif dalam meng-advokasi dan mendorong pengembangan industri halal di Indonesia. Melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, telah melakukan sertifikasi halal yang dikeluarkan untuk memberikan jaminan kehalalan produk dan layanan kepada konsumen Muslim, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Melalui sertifikasi halal, produsen Indonesia dapat mengekspor produk mereka ke pasar global yang semakin meningkat permintaannya terhadap produk halal. Hal ini memberikan peluang besar bagi ekspor Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Saat ini melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) bersama LPPOM MUI aktif dan menargetkan 1 juta sertifikasi halal gratis untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Dinar Standard, sebagai salah satu lembaga kajian internasional memprediksi pada tahun 2025 umat Muslim di seluruh dunia diproyeksikan akan menggelontorkan USD 2,8 triliun untuk membeli produk halal. Ini merupakan gambaran yang positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana UMKM berkontibusi 60% lebih untuk produk domestik bruto (PDB) dan menurut data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia melalui siaran persnya mencatat 96,9% UMKM telah menyerap tenaga kerja di Indonesia.
Hal ini menandakan sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI yang diberikan kepada UMKM memberikan dampak positif yang signifikan untuk memajukan prekonomian Indonesia. Ekonomi yang maju tentu akan menciptakan kedamaian bahkan dapat menjadi jalur alternatif penyelesaian konflik seperti yang diungkapkan dalam model managemen konflik Penny Kurnia Putri dalam risetnya yang berjudul “Manajemen Konflik dan Resolusi Konflik: Sebuah Pendekatan Terhadap Perdamaian” Tahun 2022, jalur ekonomi menjadi bagian model yang dapat digunakan untuk pendekatan penyelesaian perdamain.
Sehingga ikhtiar MUI dalam membangun umat dan bangsa serta negara dari sisi ekonomi memiliki indikasi korelasi secara tidak langsung untuk menjaga keberlangsungan keberagaman yang ada di Indonesia agar tetap damai. Melihat kontribusi MUI di atas, kedepan di era yang semakin kompleks dan tantangan global ini, kolaborasi antara MUI, pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting. Memanfaatkan keberagaman dan menggali potensi yang ada dalam masyarakat, Indonesia dapat membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai jembatan antara nilai-nilai agama dan pembangunan ekonomi, dengan fokus pada prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak melihat MUI hanya sebagai lembaga yang terbatas pada persoalan-persoalan ritual keagamaan semata.
Majelis Ulama Indonesia adalah entitas yang memiliki peran multidimensional dalam membangun Indonesia yang maju secara ekonomi bahkan melalui keberagaman. Melalui momentum Milad MUI ke 48 dalam upaya mencapai kemakmuran bersama, kolaborasi dan sinergi antara MUI dan berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci untuk mencapai tujuan Indonesia mandiri, maju dan berdaya saing di kanca dunia.