
Di tengah era di mana emak-emak bisa bikin konten TikTok pakai ring light tiga tingkat dan ngopi sambil streaming sinetron Korea di HP 5G, ada satu tempat di negeri ini yang masih hidup kayak zaman nenek moyang: tanpa listrik. Yep, ini bukan nonton film dokumenter zaman kolonial, tapi realita Desa Pulau Lalang di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, di tahun 2025. Tahun di mana AI sudah bisa masak nasi goreng, tapi warga desa masih gelap-gelapan kayak main petak umpet.
Bukan sehari dua hari loh. Warga Pulau Lalang sudah puluhan tahun hidup tanpa aliran listrik dari PLN. Bukan karena mereka tolak teknologi atau ikut sekte “Back to Nature”, tapi karena memang nggak ada listrik masuk ke desa.
Padahal katanya, Kepri sudah 98,19 persen rumah tangganya teraliri listrik per awal April 2025, menurut data dari Gubernur Kepri, Ansar Ahmad. Jadi tinggal 1,81 persen lagi. Nah, 1,81 persen itu ya mereka. Yang ironis, ya mereka juga yang kayaknya nggak masuk prioritas.
Kalau dibikin analogi emak-emak, ini tuh ibarat semua anak dikasih jatah jajan, satu anak malah disuruh ngunyah nasi basi. Sakitnya tuh di lilin.
Bukan cuma masalah pencitraan lho. Warga desa mengaku kesulitan terutama di malam hari. Aktivitas terbatas, nggak bisa nonton sinetron, ngecas HP, apalagi scroll Shopee pas tengah malam.
Anak-anak? Belajar pakai penerangan seadanya. Paling banter lampu minyak atau senter HP sisa 4 persen. Coba bayangin anak-anak zaman sekarang disuruh belajar tanpa lampu. Baru mati lampu 15 menit aja sudah demo ke PLN lewat Instastory.
Kalau bukan satire hidup, lalu apa? Di satu sisi, pemerintah bikin program bernama Kepri Terang. Tapi buat warga Pulau Lalang, program ini lebih cocok namanya Kepri Setengah Terang, soalnya mereka belum dapat jatahnya.
Kata Gubernur, sistem isolated (pembangkit listrik lokal yang nggak terhubung jaringan utama PLN) bakal dihapus. Tapi yang ada, warga masih harus mengandalkan genset atau Solar Home System yang nyalanya lebih nggak pasti dari sinyal WiFi di rumah kontrakan.
Warga sudah capek berharap. Mereka bukan minta WiFi gratis, bukan juga minta iPhone, mereka cuma minta aliran listrik 24 jam kayak desa-desa lain. Tapi yang datang malah janji manis yang terasa kayak promosi skin care: “terbukti mencerahkan dalam 7 hari”—padahal udah 7 tahun lebih nggak terang-terang.
Yang bikin makin sedih, warga juga sampai berharap lewat media:
“Semoga dengan pemberitaan ini Gubernur Kepri Ansar Ahmad peka dan dapat melihat kesusahan masyarakat, apalagi anak-anak sekolah yang menjadi generasi penerus bangsa.”
Coba deh, Pak Gubernur. Buka Google Maps, zoom in ke Kecamatan Singkep Selatan, lihat betapa kecilnya Pulau Lalang. Kecil, iya. Tapi masa iya listrik nggak nyampe juga? Ini tahun 2025, bukan 1825. Dulu alasan nggak bisa nyalurin listrik itu “akses susah”, “jaringan belum ada”. Tapi sekarang? Drone bisa ngantar mie ayam ke atap rumah, masa kabel PLN nggak bisa dikirim ke sana?
Sebagai penutup, kita semua paham kok, membangun infrastruktur itu nggak segampang goreng tahu bulat. Tapi kalau sudah puluhan tahun warga menunggu, mungkin yang dibutuhkan bukan sekadar program, tapi niat yang konsisten dan menyala. Kayak kompor emak-emak waktu dengar harga minyak goreng naik, langsung panas.
Jadi, untuk para pemegang kebijakan: nyalain dulu Pulau Lalang, baru deh kampanye soal Kepri Terang. Karena kalau satu desa saja belum terang, maka seluruh programmu belum sepenuhnya bercahaya.
Rubrik Suara Kutipan Tulisan ini merupakan kiriman warganet yang telah dipoles dengan gaya kutipan. Kirim tulisanmu ke: penuliskutipandotco@gmail.com