
KUTIPAN – Kalau zaman dulu pasar gelap itu bentuknya gang sempit di pojokan kota, sekarang tempatnya bisa ada di ujung jempol, di aplikasi chat yang kelihatan polos. Salah satu contohnya: Telegram.
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri baru saja mengungkap kasus serius: peredaran konten pornografi anak yang diperjualbelikan lewat Telegram. Dalam operasi ini, dua orang pelaku, masing-masing berinisial M.M dan F, berhasil diringkus di lokasi berbeda.
Tersangka pertama, M.M., ditangkap pada Maret 2025 di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Orang ini terbukti mengelola 12 grup Telegram, masing-masing berisi ratusan anggota. Melalui akun Telegram @asupan_croot dan @asupan_croot01, M.M. menjual akses grup dengan harga antara Rp 25.000 hingga Rp 100.000 per orang. Barang bukti yang disita dari tangan M.M. termasuk dua unit handphone dan satu laptop, semuanya penuh dengan ribuan foto dan video pornografi anak sesama jenis.
Sementara itu, tersangka F dibekuk di Kabupaten Sidenreng Rappang (SIDRAP), Sulawesi Selatan. Modusnya mirip: menjual akses ke grup Telegram bernama @Tmexx Store dan channel @BKPIND. Bedanya, channel ini punya skala lebih besar, dengan puluhan ribu subscriber. Harga akses ke grup premium itu bervariasi, mulai dari Rp 49.000 hingga Rp 299.000. Dari penggeledahan, polisi menemukan tiga unit handphone berisi ribuan konten serupa.
Kasatgas Pornografi Anak Online Dittipidsiber Bareskrim Polri, Kombes Pol. Jeffri Dian, menegaskan pentingnya operasi semacam ini.
“Kami tidak akan beri ruang bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak di ranah digital. Penyebaran konten semacam ini sangat merusak dan melukai masa depan generasi bangsa. Kami akan terus mengejar jaringan-jaringan semacam ini sampai ke akar-akarnya,” ujar Kombes Jeffri.
Bukan cuma jualan biasa, konten yang diperjualbelikan ini jelas-jelas melanggar hukum berat. Akibat perbuatannya, M.M dan F kini mendekam di Rutan Bareskrim Polri. Mereka dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE, dan/atau Pasal 29 juncto Pasal 4 Ayat (1) serta Pasal 37 juncto Pasal 11 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Ancaman hukumannya? 12 tahun penjara plus denda maksimal Rp 6 miliar. Berat? Memang harus berat. Karena kejahatan seperti ini bukan hanya melukai korban secara fisik dan psikis, tapi juga menghancurkan masa depan mereka.
Polri juga mengajak masyarakat untuk lebih waspada dan aktif melaporkan segala aktivitas mencurigakan, apalagi yang melibatkan eksploitasi seksual anak di ranah online. Karena melawan kejahatan seperti ini, tidak cukup kalau hanya dari aparat. Kesadaran publik memegang peranan penting.
Karena pada akhirnya, ruang digital seharusnya menjadi tempat tumbuh berkembang, bukan tempat untuk kejahatan tersembunyi.
Editor: Fikri
Disclaimer: Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.
Untuk informasi beragam lainnya, ikuti kami di channel WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VancJwh96H4ZVUpqeI2A atau https://whatsapp.com/channel/0029VaiC5KU65yDImom42a11