KUTIPAN – Dalam menghadapi tantangan disrupsi digital yang semakin kompleks, pemerintah meluncurkan terobosan baru untuk meningkatkan efektivitas komunikasi kebijakan publik, yakni Mobile Government (M-Government). Inovasi ini diharapkan dapat mengatasi berbagai hambatan dalam mengomunikasikan peraturan, regulasi, dan capaian program kepada masyarakat.
“Kehadiran teknologi digital juga memunculkan fenomena M-Government,” ungkap Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria dalam keterangannya saat memberikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Multimedia Yogyakarta pada Minggu (13/10/2024).
Menurut Nezar, konsep M-Government melibatkan pemanfaatan berbagai platform digital, mulai dari media sosial, website, email, hingga teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), untuk memperluas jangkauan komunikasi pemerintah.
“M-Government memiliki tiga manfaat utama: diversifikasi wadah komunikasi publik pemerintah, memperluas cakupan penyebaran informasi melalui partisipasi kelompok marjinal, serta menciptakan komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat,” jelasnya.
Penerapan di Berbagai Sektor
Nezar menekankan bahwa M-Government telah mulai diterapkan di berbagai sektor, baik di pemerintahan maupun di dunia korporasi. “Ada entitas lain dengan pola komunikasi baru yang berpotensi mengubah kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah terus beradaptasi dengan pendekatan M-Government ini,” tambahnya.
Meski demikian, tantangan dalam mengomunikasikan kebijakan pemerintah di era digital tetap besar. Disrupsi teknologi menyebabkan kebisingan (noise) yang mengakibatkan potensi kesalahpahaman dalam menyampaikan pesan.
Nezar menjelaskan bahwa di era digitalisasi, komunikasi kebijakan menjadi lebih kompleks karena informasi tidak lagi terpusat pada pemerintah saja. “Dulu, komunikasi antara pemerintah dan masyarakat menggunakan media konvensional. Kini, informasi bisa datang dari berbagai sumber,” jelasnya.
Tantangan Komunikasi Kebijakan
Sebagai contoh, Nezar menyinggung proses komunikasi kebijakan terkait penanganan pandemi COVID-19. Meskipun pemerintah Indonesia dianggap responsif dalam menerapkan kebijakan pembatasan sosial, seperti kewajiban penggunaan masker dan vaksinasi, masyarakat tidak selalu menerima kebijakan tersebut tanpa perdebatan.
“Selalu ada contoh lain, dan tidak semua orang setuju dengan pembatasan sosial yang kita terapkan. Misalnya, penggunaan masker memicu debat panjang. Informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan alasan ilmiah yang tidak jelas sering diyakini masyarakat sebagai kebenaran,” ungkap Nezar.
Acara kuliah umum ini juga dihadiri oleh Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya, Raden Wijaya Kusumawardhana, serta Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, Fadhilah Mathar. Selain itu, turut hadir narasumber dari akademisi Fisipol UGM, seperti Purwo Santoso dan Budi Irawanto, serta Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho.
Dengan adanya M-Government, pemerintah berharap dapat terus berinovasi dalam meningkatkan keterhubungan dengan masyarakat, mengatasi tantangan komunikasi kebijakan, dan memaksimalkan partisipasi publik di era digital ini.