
Pagi itu Wak duduk di meja warung kopi, pesan teh tarik sama roti bakar. Sebelah Wak ada tiga anak muda, duduknya rapat, tapi mulutnya diam. Mata semua lekat di layar gawai, jari lincah macam main biola, tapi bukan nulis puisi—scroll media sosial.
Wak fikir, kalau dulu kita ke warung untuk berbual, sekarang orang ke warung untuk update status “lagi di warung”.
Tuan Jadi Budak
Gawai pintar itu dicipta untuk memudahkan hidup. Tapi yang Wak lihat, makin canggih gawainya, makin malas otaknya. Tanya arah jalan, langsung buka peta digital, padahal jarak cuma lima rumah dari rumah sendiri. Tanya harga pasar, bukannya tanya pedagang, malah tunggu notifikasi promo.
Yang peliknya, kalau bateri habis, semua jadi panik macam kapal bocor di tengah laut.
Teknologi Kawan atau Tuan?
Wak tak anti teknologi, cuma heran, kenapa kita rela jadi budak benda kecil itu? Gawai seharusnya kawan kerja, bukan majikan yang mengatur hidup kita. Kalau gawai suruh bangun, baru kita bangun. Kalau gawai diam, kita pun bingung nak buat apa.
Dulu orang pandai kerana rajin baca buku, sekarang orang pandai sebab tahu cara search di internet. Ilmu bukan lagi disimpan di kepala, tapi di memori ponsel.
Bijak Gunakan, Bukan Digunakan
Bagi Wak, tak salah pakai gawai pintar. Yang salah kalau kita biarkan gawai jadi lebih pintar daripada kita sendiri. Sebab kalau begitu, tak lama lagi kita semua akan duduk macam patung, menunggu perintah dari benda segenggam.
Jadi, awak fikir-fikir lah… siapa sebenarnya yang mengendalikan hidup awak? Awak atau gawainya?
Wak Lendot





