
KUTIPAN – Kalau ngomongin Pulau Pekajang, jangan bayangin cuma seonggok pulau di ujung peta. Ini pulau punya sejarah panjang, bro! Dari zaman VOC, Kesultanan Riau Lingga, sampai era kemerdekaan, nama Pekajang sudah bolak-balik disebut di peta dan dokumen resmi.
Dalam perjanjian antara Pemerintah VOC/Hindia Belanda dengan Kesultanan Riau dari tahun 1748 sampai 1909, Pulau Pekajang disebut masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Lingga Riau. Bukan kata orang, ini ditegaskan langsung oleh Dedi Arman, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kalau masih ragu, peta tahun 1922 bisa jadi bukti. Coba cek Peta Riaow en Lingga Archipel dan Residentie Riouw En Onderhoorghiedden Blad: 1, wilayah Afdelling Toedjoh. Dedi bilang, “Dari peta sangat terlihat Pulau Tujuh atau Pulau Pekajang di bawah Pulau Singkep.”
Nah loh, udah jelas banget. Peta zaman Belanda aja ngaku, masa sekarang malah bingung?
Secara histori, masuknya Pulau Pekajang ke Kabupaten Lingga itu juga kuat banget. Nama Pekajang sendiri, ternyata punya cerita. Konon berasal dari kata ‘kajang’—anyaman daun nipah buat atap perahu. Dulu, kalau warga Daik Lingga mau ke pulau itu, perjalanannya bisa makan waktu berhari-hari di laut. Mereka bawa perahu beratap kajang, jadilah istilah “berkajang”. Lama-lama jadi “Pekajang”. Simpel tapi dalam.
Oh iya, pulau ini juga punya nama lain: Cebia. Kok bisa? Ya karena dulu kapal Belanda bernama Cebia pernah nyangkut di sana. Tapi pas Belanda bikin peta, mereka sebut pulau itu sebagai bagian dari “Pulau Tujuh”—karena ada tujuh pulau dalam satu gugusan.
Yang bikin makin keren, pulau ini punya sejarah kerajaan yang masih hidup sampai sekarang. Zaman Sultan Riau Lingga, Pulau Pekajang dipimpin seorang kepala suku bernama Encek Diah. Nggak cuma jadi pemimpin, Encek juga dapet anugerah dari Sultan berupa pedang berkepala naga dan sepasang tombak berambu. Pusaka itu masih ada sampai sekarang, masih dipegang oleh keturunan Encek di pulau tersebut. Coba bayangin, itu udah kayak barang museum yang hidup.
Begitu Indonesia merdeka, Pekajang jadi desa definitif di Kecamatan Lingga. Sistem kepemimpinannya masih kuat, waktu itu dipimpin oleh seorang batin. Yap, bukan kepala desa dulu namanya, tapi batin. Budaya lokal banget.
Dedi menyebut beberapa nama yang pernah jadi pemimpin di sana. Ada Batin Encik Idris (1945–1953), Dul Ali (1953–1964), lalu Dul Said (1964–1975). Masuk era Orde Baru, jabatan berubah jadi kepala desa. Mulai dari Bujang Ayub (1975–1999), terus ada pejabat sementara kayak Amin Komeng, Kamis, Siman, sampai Abdul Sadar.
Cerita ini bukan sekadar soal sejarah lokal. Ini tentang identitas, warisan, dan jejak masa lalu yang masih terawat. Sering kali pulau-pulau kecil kayak Pekajang dianggap remeh, padahal dari dulu udah punya posisi penting. Baik secara geopolitik, historis, maupun budaya.
Jadi, kalau suatu hari ada yang bertanya, “Pekajang itu punya siapa sih?” Jawab aja dengan tenang, “Sejak zaman VOC sampai sekarang, dia bagian dari Lingga.”
Dan itu bukan cuma kata orang, tapi udah ada dalam peta, dokumen, dan sejarah hidup warganya sendiri.
Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
https://www.facebook.com/kutipan.dotco/