
KUTIPAN – Kalau ada satu hal yang tidak bisa lekang oleh waktu di Tanjungpinang, itu mungkin semangat menulisnya. Kota yang dulu dikenal sebagai rumah para cendekia Melayu ini kembali berdenyut lewat Rida K Liamsi (RDK) Award 2025, ajang literasi yang sukses mengumpulkan ratusan penulis dari berbagai pelosok negeri. Bukan sekadar lomba, tapi semacam reuni kultural antara generasi yang masih percaya bahwa menulis itu soal warisan, bukan sekadar hobi.
Acara puncak penghargaan yang digelar di pelataran Gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri, kawasan Tugu Sirih, pada Jumat (10/10), menghadirkan suasana yang khas, sejuk, penuh cakap-cakap budaya, dan tentu saja aroma sejarah yang tidak pernah usang.
Dari 334 peserta yang ikut, mulai dari siswa SD sampai jurnalis senior, semua membawa semangat yang sama—menghidupkan kembali sastra dan tradisi menulis ala Melayu yang sempat “tertidur” di tengah gempuran konten instan.
Wakil Wali Kota Tanjungpinang Raja Ariza tidak hanya datang sebagai pejabat, tapi juga sebagai sosok yang memahami napas literasi itu sendiri.
“Menulis itu seperti bernafas. Selama kita hidup, semangat menulis harus tetap ada,” katanya tegas, seperti sedang menegur halus mereka yang sibuk scrolling tanpa sempat mengetik satu kalimat pun.
Raja Ariza juga mengingatkan bahwa Tanjungpinang punya identitas yang tak tergantikan.
“Tanjungpinang bukan kota industri, tapi punya potensi besar sebagai pusat budaya dan daerah wisata yang berakar pada nilai-nilai Melayu,” ucapnya.
Ucapan itu terasa relevan. Di era di mana kota-kota berlomba membangun pabrik dan mal, Tanjungpinang justru diingatkan untuk tetap setia pada ruh budayanya—menjadi tempat di mana tulisan dan tradisi saling bersentuhan.
Nada yang sama juga datang dari Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad. Ia menegaskan bahwa literasi bukan cuma tentang membaca buku, tapi tentang cara berpikir dan menghargai perbedaan.
“Literasi budaya merupakan kemampuan memahami dan menghormati perbedaan, serta cara berpikir positif terhadap keragaman budaya di masyarakat,” jelasnya.
Ansar tak lupa menyinggung Pulau Penyengat, tanah legendaris yang melahirkan banyak penulis besar.
“Kita patut bangga, banyak penulis besar dari masa lalu yang karyanya abadi. Nama-nama seperti Raja Ali Haji, Raja Haji Fisabilillah, dan Sultan Mahmud Riayat Syah sudah menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa,” katanya.
Ia bahkan menyinggung rencana pembangunan tugu dan museum di Penyengat.
“Mohon doa dan dukungannya. Kalau tidak kita abadikan, generasi mendatang mungkin tidak akan tahu bahwa cikal bakal bahasa Indonesia berasal dari sebuah pulau kecil di Kepri,” pungkasnya.
Kalimat itu seperti tamparan lembut bagi mereka yang lupa bahwa bahasa nasional lahir dari akar Melayu, bukan dari algoritma.
Sementara itu, Dato’ Rida K Liamsi, pendiri RDK Group sekaligus tokoh pers dan sastrawan Kepri, mengingatkan pentingnya kolaborasi.
“Kita butuh dukungan semua pihak agar kegiatan seperti ini bisa terus berjalan. Kesadaran literasi seperti ini penting untuk membangun peradaban,” ujarnya.
Rida tahu betul bahwa menulis bukan perkara popularitas, melainkan tentang mencatat jejak. Tentang bagaimana satu paragraf bisa menjaga sejarah tetap hidup, dan satu kalimat bisa membuat identitas Melayu terus bersinar meski zaman berubah.
RDK Award 2025 bukan sekadar penghargaan tahunan. Ia adalah napas panjang yang mencoba mengembalikan semangat menulis ke tempat asalnya—di ruang-ruang kecil tempat ide lahir, di kepala anak-anak yang masih belajar menulis dengan pena, dan di hati orang-orang yang percaya bahwa kata bisa mengubah peradaban.
Tanjungpinang mungkin tak punya pabrik raksasa, tapi punya sesuatu yang lebih mahal: warisan budaya dan bahasa yang melahirkan bangsa. Dan seperti kata Raja Ariza, “Selama kita hidup, semangat menulis harus tetap ada.” Mungkin, dari kalimat itulah, napas literasi Melayu akan terus berdenyut—pelan tapi pasti.


				
				
				
				
				
				
				

		
		
		
		
		
		
		
		
