
KUTIPAN – Ada hal yang bikin dada sesak di tengah malam Kota Batam. Seorang anak, Muhammad Alif Okto Karyanto (12), harus pulang dari rumah sakit tanpa perawatan, lalu menghembuskan napas terakhirnya tak lama kemudian. Alasannya? Fasilitas BPJS-nya ditolak.
Kejadian ini nggak cuma bikin keluarga terpukul, tapi juga bikin Ombudsman RI Provinsi Kepri angkat bicara. Mereka menyatakan keprihatinan yang dalam. Kepala Perwakilan Ombudsman, Dr Lagat Siadari, nggak tinggal diam. Dengan jelas ia bilang: “Informasi yang kami dapatkan, pasien masuk hampir tengah malam dan sempat dirawat beberapa jam namun setelah dilakukan observasi pasien dinyatakan tidak memenuhi kriteria untuk dirawat dengan fasilitas BPJS Kesehatan dan harus melalui pembayaran secara mandiri.”
Kedengarannya teknis banget, ya. Tapi ini bukan soal hitung-hitungan administrasi, ini soal nyawa. Dan ketika orangtua nggak mampu bayar biaya mandiri, mereka terpaksa membawa pulang anak mereka. Nggak lama kemudian, anak itu meninggal dunia.
Masalahnya, rumah sakit yang bersangkutan adalah RSUD Embung Fatimah, rumah sakit milik Pemerintah Kota Batam. Seharusnya, kata Lagat, lebih manusiawi dan responsif terhadap warga, apalagi kondisi pasien disebut “mendesak untuk dirawat”. Tapi realitasnya, justru pasien malah disuruh pulang. Ada yang janggal di sini.
Kalau mengacu ke aturan resmi, sebenarnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018 sudah tegas soal ini. Pasien gawat darurat adalah mereka yang terancam nyawanya dan butuh tindakan medis segera. Indikatornya pun jelas: gangguan jalan napas, penurunan kesadaran, gangguan sirkulasi, dan lain-lain.
Lagat juga heran kenapa hasil observasi bisa menyimpulkan kalau kondisi Alif nggak masuk kategori gawat darurat BPJS. “Padahal dia malah ditawarkan untuk dirawat mandiri. Itu artinya justru pasien harus dirawat segera ketika itu. Terbukti pasien meninggal beberapa jam pasca dibawa pulang,” tegasnya.
Pernyataan itu bikin publik makin resah. Kalau memang benar rumah sakit memaksakan standar yang berbeda, maka bisa-bisa banyak pasien dengan kondisi serupa akan alami nasib yang sama. Ombudsman Kepri curiga, jangan-jangan pihak RSUD takut klaim mereka ditolak BPJS. Tapi Lagat menegaskan, “Kekhawatiran klaim pembayaran tidak akan dibayarkan BPJS Kesehatan apabila pasien tidak memenuhi kriteria adalah keliru.”
Sebab, BPJS sejatinya hanya memeriksa dokumen administratif. Sepanjang rumah sakit punya catatan medis dan alasan kuat, BPJS bisa mempertimbangkan persetujuan klaim. Bahkan dalam kondisi lemah, kondisi ekonomi pasien, atau saat kedatangan dini hari pun bisa jadi bahan pertimbangan.
Lagat juga mendesak agar Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Batam turun tangan. Kasus ini perlu diusut secara objektif dan transparan, biar masyarakat tahu kebenarannya. “Peristiwa ini merupakan pelajaran penting bagi seluruh penyelenggara layanan kesehatan dan tidak boleh lagi terjadi,” pungkas Lagat.
Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
https://www.facebook.com/kutipan.dotco/