
KUTIPAN – Di kalender budaya, 2 Oktober bukan sekadar tanggal, ia semacam alarm kolektif bahwa batik bukan kain biasa ia ingatan, identitas, juga kebanggaan. Momen itulah yang dipinjam Dekranasda Kabupaten Lingga untuk menggelar kolaborasi manis bersama Dekranasda Batam lewat Batam Batik Fashion Week. Agenda panggungnya sudah disetel, 15 Oktober 2025, lokasi di kawasan Implasement, Dabo Singkep, sebuah panggung terbuka yang lebih suka angin laut ketimbang lampu sorot, namun cukup megah untuk menampung tepuk tangan.
Gagasannya sederhana tapi presisi, mempertemukan corak khas masing-masing daerah agar publik tidak sekadar melihat busana berjalan, melainkan membaca cerita di balik motif. Ketua Dekranasda Kabupaten Lingga, Feby Sarianty, menjelaskan skema peran yang rapi dan saling melengkapi.
“Dekranasda Batam yang akan menjadi pelaksana, sementara kami di Lingga hanya menyediakan tempat. Untuk talent fashion show, nanti ada yang berasal dari Batam dan Lingga,” ujarnya saat ditemui di Sekretariat Dekranasda Kabupaten Lingga, Kamis (2/10/2025).
Di balik panggung, Lingga tidak hanya bertindak sebagai tuan rumah, ada misi kultural yang digas penuh, memperkenalkan Batik Lingga yang menyimpan 21 motif khas dan sudah mengantongi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Untuk memperpanjang napas pemanfaatan, batik juga “diturunkan” ke produk sehari-hari, tas dan suvenir, supaya tidak berhenti di etalase lemari.
“Harapan kami, Batik Lingga melalui corak dan ragamnya dapat terus kita lestarikan serta diperkenalkan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kami juga sudah mengembangkan batik ini menjadi berbagai produk, seperti tas dan suvenir, agar nilai gunanya semakin luas,” jelasnya.
Di tingkat regulasi, langkah kecil tapi konsisten sudah lama berlaku, ASN Lingga memakai Batik Lingga setiap Kamis, pelajar mengenakannya saban Rabu. Aturan sederhana yang pelan-pelan melahirkan kebiasaan, kebiasaan yang lama-lama berubah jadi kebanggaan. Pada akhirnya, identitas lokal tidak tumbuh dari slogan, melainkan dari rutinitas yang diulangi bersama.
Motif-motif Batik Lingga juga tidak datang dari ruang hampa. Ada filosofi yang disematkan, ada alam dan kebudayaan setempat yang direkatkan, Awan Berarak, Itik Pulang Petang, Pucuk Rebung, Daun Paku, Tampuk Manggis, hingga Potong Wajik. Nama-nama yang akrab di lidah Melayu, lahir dari masa lampau, dan tetap relevan di badan masa kini. Sebab motif yang baik ialah yang bisa bercerita tanpa perlu berpidato.
Minat publik terhadap Batik Lingga juga merambat ke ranah oleh-oleh. Wisatawan mulai menjadikannya cinderamata yang bisa dipakai, bukan sekadar pajangan. Harga kain Batik Lingga dipatok sekitar Rp200.000 per lembar, tersedia di Sekretariat Dekranasda Lingga (Dabo Singkep) maupun Daik Lingga bagi yang ingin memilikinya.
“Alhamdulillah Batik Lingga sudah dikenal, baik di lokal maupun di luar daerah. Lewat pameran-pameran, batik ini juga semakin sering dijadikan cinderamata untuk tamu serta wisatawan,” tambahnya.
Sebagai latar besar, Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober, lahir dari Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 menegaskan batik bukan benda dekoratif. Ia adalah kesepakatan kebangsaan yang menyeberangkan ragam ke dalam persatuan.
Dengan Batam Batik Fashion Week yang diboyong ke Lingga, harapan Feby sederhana, semakin banyak orang mengenal dan menggunakan Batik Lingga maupun Batik Batam, bukan hanya sebagai pakaian seremonial, melainkan bagian dari gaya hidup modern yang relevan dan membumi.
“Semoga Batik Lingga semakin diminati masyarakat luas dan bisa menjadi ikon yang membawa nama Lingga di kancah nasional,” kata Feby.