
Pagi itu Wak duduk di bangku kayu depan rumah, sambil tengok lori lewat bawa sembako. Tak lama, jiran depan rumah dapat kiriman bantuan sosial. Wak pun senyum, sebab ini kali ketiga bantuan datang dalam tiga bulan. Aneh betul, dulu waktu kampung ini banjir, nak tunggu bantuan macam tunggu buah mangga masak di pohon—lama. Sekarang, entah kenapa, bantuan datang macam hujan lebat di musim hujan.
Bansos Macam Hujan Musim
Bagi Wak, bantuan sosial itu macam hujan. Kalau datangnya tepat waktu, semua tanaman subur, semua orang senang. Tapi kalau datangnya cuma pas musim tertentu—apalagi musim dekat pemilihan—itu bukan hujan alami, itu hujan buatan. Datang sebentar, lebat, lalu hilang entah ke mana.
Bantuan Tak Salah, Cara yang Salah
Wak tak marah dengan bantuan. Siapa yang tak suka dapat beras, minyak, gula? Tapi kalau bantuan itu hanya jadi ajang pamer atau umpan, ini yang Wak tak setuju. Dulu waktu musim susah, kita harus buat laporan panjang, isi borang macam mau pinjam bank, baru dapat bantuan setengah kilo gula. Sekarang, bantuan datang tanpa diminta—tapi entah kenapa cuma ke rumah yang “terpilih”.
Orang Kampung Pun Ada Salahnya
Kita pun tak bebas dari salah. Kadang orang kampung suka “terlalu manis” kalau dapat bantuan. Senyum lebar, ucap terima kasih, tapi tak tanya kenapa dan dari mana. Akhirnya, bantuan jadi candu—bukan untuk menguatkan, tapi untuk melemahkan semangat kerja.
Jangan Tunggu Hujan Bansos
Bagi Wak, hidup ini tak boleh cuma berharap bantuan. Sebab kalau kita terbiasa tunggu “hujan buatan”, kita akan lupa cara mencari air sendiri. Bantuan itu seharusnya penopang, bukan tongkat yang membuat kita tak mau berjalan.
Macam kata orang tua dulu: “Air hujan memang menyegarkan, tapi jangan lupa gali sumur sendiri.”
Oleh: Wak Lendot