
KUTIPAN – Terkadang, ruang publik memang terasa terlalu “publik”, sampai ada saja yang merasa perlu mengubahnya jadi ruang privat. Drainase yang seharusnya menyalurkan air hujan biar kota enggak kebanjiran, malah disulap jadi pondasi bangunan. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Ya, jelas bukan drainasenya.
Itulah yang terjadi di Jalan W.R. Supratman, Kecamatan Tanjungpinang Timur, Selasa (15/7/2025). Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tanjungpinang melakukan penyegelan terhadap sebuah bangunan yang berdiri manis di atas saluran air. Bangunan tersebut diketahui milik seorang warga bernama Faisal Agel.
Masalahnya bukan sekadar posisi bangunan yang tidak etis, tapi juga karena tidak ada Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang dikantongi oleh pemiliknya. Dalam istilah satpol, ini adalah bentuk pelanggaran terhadap Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Ketertiban Umum, plus Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Berat, Bos!
Bangunan Tak Berizin: Dari Laporan hingga Penyegelan
Tindakan penyegelan yang dilakukan Satpol PP ini bukan semata-mata gertakan sambal belaka. Prosesnya panjang dan penuh dengan birokrasi yang elegan. Penyidik PPNS Satpol PP Tanjungpinang, Scorpiono—nama yang kedengarannya seperti pahlawan komik lokal—menjelaskan bahwa langkah penyegelan ini didasari oleh Laporan Kejadian Nomor: LK/27/300.3/6.2.05/2025, lengkap dengan Berita Acara Klarifikasi.
“Bangunan ini melanggar ketentuan karena berdiri di atas drainase dan tidak dilengkapi PBG. Kami telah memasang garis PPNS Line dan stiker penghentian sementara,” ujar Scorpiono.
Lebih lanjut, pelanggaran ini dikenai sanksi administratif berupa pembongkaran. Dasarnya jelas, yaitu Pasal 142 huruf b Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, serta Pasal 24 ayat (1) huruf g Perda Nomor 7 Tahun 2018.
Prosedur yang Rapi: Dari Rapat sampai Apel Lapangan
Sebelum sampai ke titik pemasangan stiker dan garis penyegelan, Satpol PP telah melakukan berbagai tahapan. Mulai dari koordinasi lintas sektor—dengan Bidang Trantib, Korwas PPNS, hingga Kelurahan Air Raja. Tak ketinggalan, apel persiapan dan rapat singkat juga digelar di lokasi. Semua demi memastikan langkah penertiban berjalan lancar, aman, dan penuh dokumentasi.
“Pemasangan garis penyegelan dan stiker penghentian sementara berjalan dengan lancar, aman, dan dituangkan dalam Berita Acara resmi,” ujar Scorpiono.
Menjaga Fungsi Drainase: Bukan Sekadar Penegakan Hukum
Kepala Satpol PP Kota Tanjungpinang, Abdul Kadir Ibrahim atau yang akrab disapa Akib, menekankan bahwa langkah ini bukan semata-mata penegakan hukum kosong. Lebih dari itu, ini adalah soal menjaga ketertiban umum dan fungsi fasilitas publik yang krusial, seperti drainase.
“Kami bertindak sesuai peraturan yang berlaku. Penegakan ini tidak hanya untuk menertibkan bangunan liar, tetapi juga menjaga fungsi saluran air agar tidak terganggu,” ujar Akib.
Akib juga menyampaikan bahwa Satpol PP akan terus meningkatkan deteksi dini dan pengawasan terhadap aktivitas warga yang berpotensi menimbulkan gangguan. Ini penting, apalagi di kota yang terus berkembang seperti Tanjungpinang, di mana ruang makin sempit, dan kadang ego makin besar.
Bangunan vs Drainase: Harus Ada Batas
Kasus seperti ini semestinya jadi pengingat bahwa ruang kota bukan ruang pribadi. Apalagi drainase—fasilitas yang dibangun untuk melayani semua warga, bukan satu-dua orang. Mendirikan bangunan tanpa izin bukan hanya soal melanggar aturan, tapi juga soal merampas fungsi publik.
Langkah Satpol PP menyegel bangunan ini patut diapresiasi. Prosesnya rapi, komunikatif, dan berdasarkan hukum yang jelas. Semoga ini jadi pelajaran, bahwa penataan kota adalah kerja kolektif, dan saluran air bukan tempat cari untung.
Laporan: Dito | Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.