
KUTIPAN – Kalau biasanya kabar pembangunan bikin kening berkerut karena molor atau tak sesuai janji, kali ini kabar dari Bintan cukup bikin hati adem. Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Provinsi Kepulauan Riau melaporkan bahwa pembangunan atau rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kabupaten Bintan sudah rampung 80 persen.
Kabar itu disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Perkim Kepri, Said Nursyahdu, saat turun ke lapangan melakukan monitoring dan evaluasi (Monev) di Bintan pada Selasa (11/11/2025). Di tengah terik dan debu pembangunan, ia menjelaskan bahwa tahun ini Pemprov Kepri menggarap 40 unit rumah yang tersebar di delapan desa dan dua kelurahan.
“Program ini menggunakan dana APBD Kepri tahun 2025, merupakan salah satu program strategis untuk mendukung implemen Program 3 Juta Rumah Presiden Prabowo,” terang Said.
Kalimat itu tak sekadar jargon birokrasi. Program ini memang dirancang untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar bisa menempati rumah yang lebih layak, lebih manusiawi. Dalam konteks Kepri, yang banyak memiliki daerah pesisir, rumah layak tak cuma soal tembok dan atap, tapi juga soal rasa aman dari hujan, ombak, dan angin asin laut.
Selain di Bintan, pembangunan RTLH ini juga berjalan di Lingga, Karimun, Batam, dan Tanjungpinang. Programnya dimulai sejak Oktober dan ditargetkan rampung pada pekan ketiga Desember 2025.
Kalau dibayangkan, rumah yang dibangun ini memang sederhana: ukuran 5×4 meter, atap spandek, lantai semen acian, pintu kayu, dan jendela aluminium. Tapi sederhana bukan berarti asal-asalan. Ada pembagian material yang disesuaikan dengan lokasi.
“Rumah di pesisir menggunakan GRC dikarenakan menyesuaikan anggaran. Rumah di pesisir biaya pembangunan terserap lebih besar untuk tiang atau tongkat bangunan,” terang Said.
Di darat, temboknya dari batako, sementara di pesisir pakai GRC (Glassfiber Reinforced Cement)—bahan yang lebih ringan dan cocok untuk bangunan di atas air. Ya, hidup di tepi laut memang butuh adaptasi, bahkan dari bahan bangunan sekalipun.
Beberapa rumah bahkan harus dirobohkan total sebelum dibangun ulang, karena kondisi bangunan lamanya sudah benar-benar tak layak. Tapi di situlah semangat program ini terasa: bukan sekadar tambal sulam, melainkan memberi warga pondasi baru untuk hidup lebih baik.
“Kita (pemerintah) memberikan warga penerima berupa pokok rumah. Sedangkan untuk kamar mandi atau dapur, penerima menambah sendiri,” pungkas Said.
Di balik data dan persentase, program ini sebenarnya punya wajah-wajah bahagia yang lebih berharga dari laporan tahunan mana pun.
Lihat saja Emat, 77 tahun, warga Toapaya Selatan. Setelah rumahnya roboh, ia bersama istri dan anaknya sempat tinggal seadanya. Kini, ia bisa tersenyum lagi di depan rumah barunya.
“Saya berterimakasih banyak sudah diberi bantuan oleh Pemerintah Provinsi Kepri,” ujarnya.
Kisah serupa datang dari Muhammad Aldi dan Fiki Sasta, warga Selat Bintan 1, Desa Pengujan, Kecamatan Teluk Bintan. Dulu rumah mereka berdinding kayu dengan atap rumbia. Kini berganti spandek merah marun yang berkilau di bawah matahari.
“Rumah kami sebelumnya kayu. Atapnya rumbia,” kata Aldi.
“Kami sampaikan terimakasih kepada Pemerintah Provinsi Kepri,” tambah Fiki Sasta.
Cerita sederhana, tapi punya makna besar. Di tengah laju pembangunan yang sering kali berat sebelah, masih ada program yang menyentuh langsung kebutuhan dasar manusia: tempat tinggal. Dan kalau melihat semangat warga Bintan yang kini bisa menatap masa depan dari rumah yang lebih kokoh, sepertinya 80 persen progres itu bukan sekadar angka—tapi simbol harapan yang sedang berdiri pelan-pelan di atas tanah dan air Kepri.





