
KUTIPAN – Di SMA Negeri 1 Rejai, Kabupaten Lingga, ada pelajaran yang tidak hanya mengandalkan papan tulis dan spidol. Di sekolah yang berada di Kecamatan Bakung Serumpun ini, para siswa kelas X diajak turun langsung ke dapur budaya lewat kegiatan Serap Asa (Seni Praktek Adat dan Rasa).
Nama kegiatannya terdengar puitis, tapi praktiknya justru sangat membumi, belajar tahapan prosesi pernikahan adat Melayu sampai ke momen yang biasanya penuh asap wajan, yakni “hari mengacau” atau kegiatan membuat wajik dan dodol secara gotong royong.
Kegiatan ini berlangsung pada Rabu (5/11/2025). Alih-alih teori panjang yang bikin mengantuk, para siswa merasakan sendiri bagaimana tradisi tidak hanya hidup dalam buku, tapi juga di tangan, rasa, dan kebersamaan.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Hayyi Mitalaksari, S.Pd, menjelaskan bahwa Serap Asa memang dirancang sebagai cara mengenalkan budaya Melayu dari akar paling dasarnya.
“Alhamdulillah, kegiatan ini merupakan bagian dari program Serap Asa — singkatan dari Seni Praktek Adat dan Rasa. Di dalamnya, siswa mempelajari rangkaian prosesi pernikahan adat Melayu dari awal hingga akhir. Termasuk tradisi hari mengacau, di mana keluarga dan kerabat berkumpul untuk membuat wajik dan dodol sebagai simbol kebersamaan,” jelasnya.
Dan benar saja, suasana hangat terlihat dari carut-marut tangan-tangan siswa yang sibuk megacau atau mengaduk adonan dodol di wajan. Namun, justru di situlah esensinya, tradisi bukan soal seremoni besar, tapi soal keberadaan, kebersamaan, dan keikhlasan untuk melakukan sesuatu bersama.

“Sangat antusias sekali, semua proses yang mereka lakukan dengan penuh semangat. Saya rasa ini esensi dari kegiatan ini, di mana anak-anak merasakan sendiri nilai kebersamaan dan memahami makna budaya yang ada. Pembelajaran menjadi lebih bermakna,” ujar Hayyi.
Salah satu peserta, Junita, mengaku kegiatan ini memberinya pengalaman yang mungkin tidak ditemukan di aplikasi resep atau video tutorial manapun.
“Bermanfaat sekali, karena saya jadi tahu bagaimana prosesi pernikahan adat Melayu di Lingga. Selain itu, saya juga belajar cara membuat dodol dan wajik secara langsung. Seru dan menambah ilmu,” ungkapnya.
Kegiatan ini mendapat sambutan baik dari para guru dan masyarakat. Serap Asa bukan sekadar kegiatan ekstrakurikuler, tetapi jembatan antara generasi muda dengan akar tradisi tempat mereka berpijak.
Dalam konteks zaman yang serba seragam, kegiatan seperti ini terasa seperti napas segar. Mengingatkan bahwa identitas tidak lahir dari layar ponsel, melainkan dari cerita, rasa, dan praktik yang diwariskan.





