
KUTIPAN – Ada yang bilang, berziarah bukan sekadar menabur doa di atas pusara. Kadang, itu juga cara paling lembut untuk menegur diri sendiri, “Hei, masihkah kau tahu dari mana bangsa ini berasal?”
Mungkin itulah yang terlintas ketika Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) H. Wihaji melangkahkan kaki di Pulau Penyengat, Kamis (23/10). Dalam rangkaian kunjungan kerjanya di Tanjungpinang, ia memilih mampir ke pulau kecil yang menyimpan memori besar tentang kejayaan Melayu dan lahirnya bahasa persatuan bangsa.
Didampingi Gubernur Kepulauan Riau H. Ansar Ahmad, Menteri Wihaji memulai perjalanan dengan menziarahi makam Engku Puteri Raja Hamidah, sosok perempuan tangguh yang dulu menjaga simbol-simbol kerajaan seperti menjaga harga diri bangsanya. Di sana, rombongan berdoa bersama. Hening, tapi sarat makna.
Tak berhenti di situ, langkah rombongan berlanjut ke makam Pahlawan Nasional Raja Ali Haji. Di tempat inilah sang pujangga besar dirindukan bukan hanya karena puisinya, tapi karena pikirannya yang merumuskan tata bahasa Melayu hingga menjadi pondasi Bahasa Indonesia modern.
“Raja Ali Haji bukan hanya milik masyarakat Melayu, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. Dari buah pikirnya lah kita memiliki bahasa persatuan yang menyatukan negeri ini,” ucap Menteri Wihaji, dengan nada penuh penghormatan.
Masih di kawasan yang sama, Menteri bersama istrinya juga menziarahi makam Raja Haji Fisabilillah, pejuang yang namanya diabadikan di berbagai tempat di Kepri. Usai ziarah, perjalanan berlanjut ke Balai Adat Melayu, bangunan megah yang berdiri kokoh sebagai penjaga tradisi. Di sana, Wihaji melihat langsung bagaimana masyarakat Penyengat tetap setia menjaga kesenian dan adat yang diwariskan leluhur mereka.
Di Balai Maklumat Inderasakti, ia tampak kagum. Bayangkan saja, hampir 500 naskah kuno tersimpan rapi di sana. Isinya bukan dongeng atau syair semata, tapi catatan tentang hukum adat, pengelolaan tanah, hingga surat pemerintahan dari masa silam. Semuanya ditulis dalam bahasa Melayu klasik dengan aksara Arab-Melayu, semacam “hard disk” peradaban yang masih hidup sampai sekarang.
Gubernur Ansar yang turut mendampingi, tak ingin kehilangan momentum untuk menegaskan nilai tempat ini.
“Pulau Penyengat adalah pusaka bangsa, bukan hanya milik Kepri. Di sini lahir pemikir besar seperti Raja Ali Haji yang kontribusinya begitu nyata dalam sejarah bahasa dan kebangsaan kita,” ujar Gubernur Ansar.
Ia juga menambahkan, pemerintah provinsi berkomitmen menjaga dan merevitalisasi kawasan ini agar tetap menjadi kebanggaan nasional.
“Kami berkomitmen menjaga dan terus mendorong revitalisasi Pulau Penyengat agar nilai-nilai sejarah, budaya, dan pendidikan yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan dikenal generasi muda,” tegasnya.
Mendengar semua itu, Menteri Wihaji tampak tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Dalam pandangannya, Pulau Penyengat bukan hanya destinasi wisata sejarah, melainkan “laboratorium moral bangsa”.
“Pulau Penyengat menyimpan warisan luar biasa. Dari sini kita belajar bagaimana nilai agama, budaya dan kebangsaan berpadu menjadi satu kekuatan moral bangsa. Ini bukan hanya milik masyarakat Kepri, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.
Menteri Wihaji juga menekankan bahwa melestarikan situs sejarah seperti Penyengat tak hanya penting untuk pariwisata, tapi juga untuk pembangunan karakter dan pendidikan keluarga Indonesia.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Saya berharap semangat literasi dan budaya yang pernah tumbuh di Penyengat bisa menjadi inspirasi bagi keluarga Indonesia dalam membangun generasi yang berkarakter, beradab dan mencintai ilmu,” tuturnya.
Sebagai penutup, rombongan singgah di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat, masjid ikonik yang sudah berdiri sejak abad ke-18 dan terkenal karena dibangun dengan campuran putih telur dalam adonannya. Menteri Wihaji takjub dengan arsitektur dan simbolisme yang terkandung di dalamnya.
“Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat peradaban. Di sinilah dahulu ilmu, sastra dan agama berpadu membentuk peradaban yang luhur,” pungkasnya.
Di antara aroma sejarah dan gema adzan sore itu, Pulau Penyengat seakan berbisik lembut: bangsa yang lupa sejarahnya akan kehilangan arah. Untungnya, hari itu, sejarah sempat dikunjungi kembali.





