
Oleh: Alang Dilaut Penggiat sastra di Kabupaten Lingga dan Founder Komunitas Sastra Dilaut
Di tengah derasnya arus TikTok dance challenge, film superhero, dan meme-meme receh yang jadi konsumsi Generasi Z maupun Generasi Alfa, ada nama yang barangkali terdengar asing, H. Abbas Mahmud. Bagi anak muda Lingga sendiri, mungkin nama ini tak sefamiliar penyanyi K-pop atau youtuber gaming. Tapi siapa sangka, sosok yang lahir di Sungai Buluh, Singkep Barat, 3 November 1941 ini ternyata menyimpan jejak panjang di dunia seni dan budaya.
Abbas Mahmud bukan sekadar pelukis kampung halaman. Ia seorang guru, penulis skenario, sutradara teater, bahkan penulis buku yang karya-karyanya sampai dikoleksi universitas top dunia sebut saja Cornell, UC Berkeley, University of Michigan, hingga University of Hawaii. Ironis, justru di tanah kelahirannya, namanya jarang disebut. Padahal, jejak tangan dan pikirannya masih hidup hingga kini, bahkan pada logo resmi Kabupaten Lingga.
Dari Lukisan ke Panggung Teater
Valintianus Nurul Iman, salah satu putranya, masih menyimpan banyak kisah tentang sang ayah. Katanya, Abbas Mahmud dulu sempat jadi guru. Tapi panggilan jiwanya tidak bisa lepas dari seni, melukis, menulis puisi, bahkan menyutradarai teater. Tahun 1993, ia diganjar sebagai sutradara terbaik dalam Festival Teater se-Kepri (waktu Kepri masih bergabung dengan Riau).
Selain itu, ada satu karya penting, buku berjudul Adat Istiadat Perkawinan Melayu Lingga, Singkep, dan Senayang. Jangan bayangkan ini buku yang hanya berdebu di rak toko lokal. Justru sebaliknya, karya ini jadi rujukan internasional. Ironi kecilnya, mahasiswa di Amerika dan Kanada mungkin lebih mudah menemukan buku ini di perpustakaan kampus mereka ketimbang anak muda Lingga di rak perpustakaan daerah.

Seniman, Tapi Melarang Anaknya Jadi Seniman
Cerita menarik lain datang dari Valin. Meski hidupnya didedikasikan untuk seni, Abbas Mahmud justru melarang anaknya menekuni jalur yang sama. Alasannya sederhana tapi getir, Seniman itu miskin. dan Seniman itu harus jujur.
Kalau tak jujur, katanya, maka karyanya menipu. Kata-kata ini seperti pesan klise, tapi ada benarnya. Sebab dalam seni, yang dijual bukan sekadar keindahan visual, tapi kejujuran rasa.
Namun larangan itu justru membuat Valin semakin penasaran. Ia sempat mencuri kanvas dan kuas ayahnya, lalu diam-diam belajar melukis pada sahabat sang ayah, almarhum Apandi di Tanjungpinang. Dari sana, jalan seni Valin terbuka, meski sempat membuat ayahnya kecewa. Tapi akhirnya, darah seni memang tidak bisa diingkari, Valin kuliah seni lukis di Yogyakarta, dan kini juga jadi tenaga pengajar seni di Lingga.
Sang Guru yang Tak Pernah Mencubit
Di balik keseriusannya dalam berkarya, Abbas Mahmud dikenal keluarga sebagai sosok sabar. Menurut Valin, “Almarhum bapak belum pernah memukul anak, mencubit pun belum pernah.” Itu kata-kata yang jarang terdengar dari anak-anak di era 70–90an, ketika rotan dan cubitan masih dianggap metode pendidikan yang sah.

Bersama lima anaknya, seni menjadi bahasa yang diwariskan. Ada yang menulis puisi, ada yang berpantun, ada yang mengukir. Tapi Valin lah yang paling mewarisi jejak lukisan sang ayah. Bahkan, kebiasaan sederhana Abbas Mahmud saat melukis masih melekat di ingatan Valin, kaos singlet, celana pendek, melukis santai di rumah sambil anak-anak duduk di sampingnya. Gambaran yang begitu manusiawi dari seorang seniman besar.
Karya yang Tertinggal
Di Lingga, nama Abbas Mahmud tidak hanya tertulis di buku. Jejak tangannya nyata, seperti lukisan sultan di Istana Damnah atau revisi logo Kabupaten Lingga yang masih dipakai hingga sekarang. Sayangnya, sebagian naskah karyanya masih tersimpan dalam bentuk lembaran, termasuk novel Rebah Dimamah Masa yang belum sempat diterbitkan.
Ia juga dikenal rajin turun ke masyarakat, berbulan-bulan melakukan riset adat istiadat dari pulau ke pulau sebelum menulis. Tak heran, buku perkawinannya dianggap begitu kaya data. Abbas Mahmud bukan tipe seniman yang berkarya hanya dari imajinasi, tapi dari jejak nyata kehidupan masyarakat.

Warisan yang Layak Dikenang
Dari cerita Valin, terlihat bahwa seni bagi Abbas Mahmud bukan sekadar profesi atau hobi. Ia jalan hidup. Meskipun pernah khawatir anaknya ikut jalur yang sama, akhirnya ia berdamai, berbagi ilmu, berdiskusi, hingga merencanakan buku puisi bersama. Sayang, maut lebih dulu menjemputnya pada 4 April 2006.
Kini, jejaknya tetap hidup lewat karya. Entah itu lukisan di istana, logo daerah, buku adat istiadat, atau cerita-cerita lisan anaknya. Ironinya, di tanah kelahirannya nama Abbas Mahmud tidak setenar artis ibu kota, padahal jejaknya telah menembus perpustakaan kampus internasional.
Mungkin inilah nasib banyak seniman daerah, dikenal di luar, tapi samar di rumah sendiri. Namun justru dari situ, ada pekerjaan rumah bersama, mengingat, merawat, dan mengenalkan kembali sosok seperti H. Abbas Mahmud agar generasi mendatang tahu bahwa Lingga bukan hanya kaya laut dan hutan, tapi juga pernah melahirkan seorang pelukis, sastrawan yang karyanya menembus dunia.
Tulisan ini dikemas ulang dengan gaya redaksi Kutipan, tanpa mengurangi substansi isi tulisan penulis atau informasi.