
Pagi 17 Agustus, Wak duduk di kursi bambu pinggir lapangan. Mata Wak ikut tegang melihat pasukan pengibar bendera berjalan tegap, langkah seragam, kepala tegak, wajah serius macam prajurit betul. Wak angkat topi dalam hati, sebab anak-anak muda itu mampu bikin ribuan pasang mata terharu hanya dengan mengibarkan selembar kain merah putih.
Disiplin yang Tak Main-main
Wak tahu, untuk bisa berdiri di situ bukan perkara mudah. Latihan pagi sore, panas hujan, semua ditelan. Satu salah langkah saja boleh rosakkan formasi. Wak fikir, kalau saja pejabat kita disiplin macam anak-anak paskibra ini, pasti negeri kita tak banyak bocornya.
Semangat Sehari vs Seumur Hidup
Yang Wak heran, semangat 17 Agustus ini biasanya cuma sehari. Hari itu kita hormat bendera, nyanyi Indonesia Raya, lalu seminggu kemudian lupa lagi. Jalan kembali berlubang, pungutan liar balik beraksi, politik kampung ribut macam ayam berebut jagung.
Bendera kita memang naik ke puncak tiang, tapi akhlak kita tetap di bawah tapak kaki.
Merah Putih Itu Cermin
Bagi Wak, pasukan pengibar bendera itu cermin bangsa. Mereka tunjukkan kesungguhan, disiplin, dan kerja sama. Bendera takkan naik kalau cuma ditarik satu orang. Semua harus serentak, seimbang, dan ikhlas. Sama juga dengan negeri ini—kalau semua hanya pikir diri sendiri, Merah Putih itu cuma jadi kain, bukan martabat.
Jangan Cuma Jadi Penonton
Wak mau bilang, janganlah semangat kita berhenti di upacara. Menghormat bendera itu bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kita hormati nilai yang bendera itu wakili: persatuan, kejujuran, kerja keras.
Macam kata orang tua dulu: “Negeri bukan dijaga dengan tepuk tangan, tapi dengan tangan yang mau bekerja.”
Oleh: Wak Lendot