
Minggu lepas, Wak diundang ke kenduri pernikahan anak jiran. Wah, meriah sungguh! Meja penuh lauk dari gulai kambing sampai udang galah. Dekorasinya macam istana, lampu kelap-kelip macam di pesta tahun baru. Wak pun makan sambil senyum, tapi bukan sebab lauknya sedap saja… Wak teringat, dompet tuan rumah pasti dah menjerit minta ampun.
Gengsi Lebih Besar dari Isi Dompet
Zaman sekarang, kenduri bukan lagi soal syukur, tapi soal pamer. Kalau tak megah, nanti jadi bahan bisik-bisik tetangga. “Eh, kendurinya kecil saja ya…” Padahal, yang mengata tu pun belum tentu sanggup bayar kalau diminta buat hal yang sama.
Banyak orang rela ambil hutang, gadai tanah, semata-mata supaya kendurinya jadi buah bibir. Sayangnya, selepas lampu padam dan tamu pulang, yang tinggal cuma cicilan dan sisa nasi minyak.
Tradisi Tak Salah, Cara Kita yang Salah
Wak tak pernah larang orang buat kenduri. Tradisi itu indah, mempererat silaturahmi. Tapi, bila tradisi dibungkus gengsi, hasilnya jadi beban. Dulu, kenduri kampung cukup nasi, gulai ayam, sayur rebung—tetap ramai dan penuh doa. Sekarang, kalau tak ada live music, photo booth, dan menu luar negeri, katanya tak berkelas.
Biar Sedang, Asal Lega
Bagi Wak, kenduri itu macam pakaian: pakailah yang muat di badan. Tak perlu beli jas mahal kalau nanti hutangnya buat awak tak tidur malam. Kenduri sederhana tapi ikhlas lebih dikenang orang, daripada kenduri megah tapi hutangnya buat awak lari kalau jumpa tetangga.
Macam kata orang tua dulu: “Biar kecil periuk, asalkan cukup nasi.”
Wak Lendot