
KUTIPAN – Ada pertemuan yang seolah menggambarkan bahwa warisan budaya bukan cuma urusan masa lalu, tapi juga masa depan. Di ruang rapat Engku Putri Raja Hamidah, Kota Tanjungpinang, pada Jumat (25/07/2025) diskusi berlangsung serius tapi hangat. Topiknya bukan soal proyek pembangunan atau penggusuran, tapi justru bagaimana membangun tanpa menghapus jejak sejarah.
Pemerintah Kota Tanjungpinang menggelar pertemuan penting dengan Universiti Teknologi Malaysia (UTM), khususnya Pusat Kajian Alam Bina Dunia Melayu (KALAM). Yang dibahas? Bukan hal remeh, melainkan penataan dan pelestarian seni bina warisan budaya.
KALAM ini bukan lembaga sembarangan. Berdiri sejak 1996, mereka sudah bertahun-tahun meneliti, menggambar ulang bangunan tua, dan menerbitkan karya ilmiah tentang arsitektur Melayu. Bahkan sejak 1975, mahasiswa arsitektur UTM sudah diajak turun lapangan melukis ulang bangunan bersejarah.
Puan Noraslinda dari UTM mengaku terpesona oleh Pulau Penyengat. “Kami sangat tertarik dengan kekayaan warisan budaya yang dimiliki Tanjungpinang,” katanya. Ia bahkan menyebutkan kalau timnya sudah membuat maket kawasan Pulau Penyengat.
Yang menarik, bukan cuma bangunannya yang bikin kagum. Identitas budaya seperti tanjak dan pakaian adat yang dipakai para pejabat Tanjungpinang juga jadi catatan penting.
“Identitas seperti ini adalah elemen penting dalam pelestarian budaya yang menyatu antara bentuk, fungsi, dan makna,” lanjutnya.
Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, tak kalah semangat. Ia menyambut baik kerja sama ini. Lis menjelaskan bahwa Tanjungpinang bukan kota biasa. Sejak abad ke-17, kota ini jadi simpul migrasi budaya lintas kawasan. Dari Melayu, Arab, India, sampai Eropa. Bahkan arsitekturnya pun mencerminkan akulturasi berbagai peradaban.
Tak berhenti di Pulau Penyengat, Lis juga menyoroti kawasan Kota Rebah di Kampung Bugis. Ia ingin pelestarian dilakukan menyeluruh dan berkelanjutan. Tidak sekadar simbolis, tapi sampai ke pendidikan dan pelatihan generasi muda.
“Kami berharap MoU ini akan menjadi awal dari berbagai program strategis seperti penelitian bersama, pendokumentasian arsitektur, pelatihan, dan workshop,” ujar Lis.
Tanjungpinang juga siap jadi laboratorium hidup bagi riset arsitektur Melayu. Ini bukan mimpi, tapi langkah konkret agar budaya tak jadi fosil.
Kerja sama lintas negara ini seolah mengajarkan satu hal: melestarikan budaya bukan nostalgia, tapi investasi masa depan.
Laporan: Seka
Editor: Fikri
Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan media Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.