
KUTIPAN – Kalau ada yang bilang mengurus desa itu mudah, mungkin dia belum pernah duduk bareng perangkat desa sambil menghitung anggaran yang harus disesuaikan dengan kebutuhan warga, dari pembangunan jalan lingkungan sampai pembelian kursi posyandu. Dana desa memang jadi berkah, tapi kadang juga bisa jadi perkara. Nah, Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Adi Prihantara, sepertinya paham betul soal dilema ini.
Saat membuka Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tingkat Regional di Aula Wan Seri Beni, Kantor Gubernur Kepri, Dompak, Selasa (15/7/2025), Adi tampil bukan sekadar membaca naskah. Ia memberi penekanan yang cukup serius, seperti seorang dosen senior yang bosan melihat mahasiswanya salah kaprah terus.
“Jangan sampai dana desa menjadi sumber persoalan hukum, tapi harus jadi motor penggerak ekonomi desa,” tegas Adi dalam sambutan pembukaan.
Pernyataan ini bukan hanya jadi pembuka acara, tapi semacam pembuka mata—bahwa pengelolaan dana desa bukan perkara administrasi semata, tapi urusan moral dan akuntabilitas. Adi mengingatkan bahwa seluruh struktur pemerintahan, mulai dari kepala desa hingga camat dan OPD, memikul tanggung jawab besar: memastikan dana yang dikelola benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat.
Kalau ada yang masih suka main-main dengan dana desa, Adi punya pesan yang cukup jelas:
“Mari kita ubah cara berpikir kita. Tidak cukup hanya dengan perasaan atau asumsi, tetapi dengan data yang benar dan bermanfaat. Karena keputusan yang tepat hanya lahir dari data yang akurat.”
Kutipan ini sebenarnya menyuarakan keresahan lama: terlalu banyak kebijakan desa yang lebih sering ‘pakai feeling’ daripada data. Padahal desa zaman sekarang punya akses pada teknologi, pendamping, bahkan tenaga ahli pemberdayaan. Sayang kalau semua itu cuma jadi formalitas.
Workshop yang diselenggarakan oleh Inspektorat Daerah Provinsi Kepulauan Riau ini mengangkat tema besar:
“Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel Dalam Rangka Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan.”
Ini bukan tema biasa-biasa saja. Kata-kata seperti “akuntabel”, “inklusif”, dan “berkelanjutan” mungkin terdengar akademis, tapi punya implikasi praktis: dana desa harus dikelola dengan transparan, untuk semua warga, dan hasilnya bisa dirasakan jangka panjang.
Sekitar 200 peserta dari berbagai wilayah di Kepri hadir. Bukan cuma kepala desa dan perangkatnya, tapi juga camat, kepala OPD kabupaten/kota, serta tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa. Singkat kata, acara ini penuh orang penting yang punya pengaruh langsung terhadap nasib anggaran di tingkat paling bawah.
Workshop ini juga diisi dengan sesi diskusi panel yang lumayan bergizi. Bukan cuma dari segi isi, tapi juga dari keberagaman narasumber yang dihadirkan:
-
Hisyam Wahyudi, Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kepri
-
Budiman, ahli pengawasan keuangan dan pembangunan
-
AKBP Braiel Arnold Rondonungu, Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kepri
-
Suaman, Kasubdit Tipikor Polda Kepri
-
Auditor Ahli Utama Inspektorat Daerah Provinsi Kepri
-
Serta pakar pengawasan intern pemerintah daerah
Bayangkan, satu ruangan penuh orang-orang yang biasa memeriksa, mengaudit, dan menindak. Kalau diibaratkan, ini seperti menyatukan ahli gizi, dokter, dan polisi kesehatan dalam satu forum masak bareng. Harapannya: hasil masakan keuangan desa jadi lebih sehat dan jauh dari penyakit korupsi.
Tentu saja, pesan paling kuat dari kegiatan ini adalah: ubah pola pikir, kelola anggaran dengan akurat, dan jangan main-main dengan dana desa. Bukan hanya karena takut kena hukum, tapi karena uang itu memang untuk warga desa. Untuk jalan yang lebih mulus, posyandu yang lebih layak, taman baca yang hidup, dan program pemberdayaan yang masuk akal.
Kalau semua pihak dalam rantai pemerintahan desa bisa mengelola dana dengan akuntabel dan berbasis data, mungkin tak lama lagi kita tak akan mendengar lagi dana desa jadi berita buruk. Justru sebaliknya: jadi contoh baik dari bagaimana uang negara dipakai secara bijak.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti, anak-anak muda desa tak lagi bercita-cita pindah ke kota, tapi bangga tinggal di desa, karena tahu desanya punya masa depan yang bisa diandalkan—dan itu dimulai dari pengelolaan dana yang jujur dan cermat.
Laporan: Rangga | Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.





