
Dunia boleh jungkir balik. Teknologi boleh ganti kulit tiap dua bulan. Gaya hidup boleh makin absurd. Tapi ada satu benda kecil yang menertawakan semua kehebohan itu dari kejauhan: peniti.
Lihat gambar ini baik-baik. Dari 1849 sampai 2025, bentuk peniti nggak berubah. Masih kayak itu-itu aja. Di saat manusia sibuk nambah filter biar tampak glowing, si peniti tetap tampil polos, lurus, dan jujur pada fungsinya. Nggak neko-neko.
Dan justru di situlah letak filosofi agung si peniti. Ia mungkin kecil, tapi dia mengajarkan kita tentang keutuhan identitas, tentang kesederhanaan yang konsisten, dan tentang makna “berguna” tanpa harus jadi viral. Peniti itu bukan cuma benda logam kecil buat nyatukan kain. Ia adalah manifesto diam-diam tentang hidup yang tulus dan tahan banting.
Peniti tidak menggoda siapa pun dengan bentuk yang baru. Tidak datang dengan versi “pro max”, tidak ngiklan di TikTok, tidak punya edisi kolaborasi sama brand fashion mana pun. Tapi eksistensinya tetap kokoh, entah di kotak jahit nenekmu, tas makeup emakmu, atau bahkan laci darurat di kantor redaksi.
Dan itu bukan karena dia pasrah. Itu karena dia tahu: dirinya sudah cukup. Fungsinya sudah sempurna sejak hari pertama ia lahir dari kepala Walter Hunt, si penemu peniti, pada 1849. Ia diciptakan bukan buat gaya-gayaan, tapi buat menyelesaikan masalah nyata. Sebuah desain yang sekali jadi, langsung nancep ke sejarah.
Peniti adalah perlawanan sunyi terhadap obsesi dunia modern pada perubahan. Manusia sekarang susah bahagia karena terus dikasih tahu harus lebih ini, lebih itu, upgrade ini, edit itu. Tapi peniti menolak semua itu. Ia bilang: cukup itu bukan kalah. Cukup itu justru bentuk kemenangan tertinggi. Karena saat kamu tahu kamu sudah cukup, kamu berhenti berpura-pura.
Betapa banyak orang hidup pura-pura sekarang? Berpura-pura kaya, bahagia, cantik, pintar. Semua demi feed Instagram dan validasi palsu. Sementara peniti? Dia nggak pernah peduli tampilannya jelek. Yang penting, dia bisa nyatukan dua hal yang tercerai-berai. Itu aja. Simple, tapi berdampak.
Peniti bukan spotlight hunter. Bahkan saat ia bekerja, sering kali dia tertutup kain. Tapi justru karena itu, ia jadi lambang dari orang-orang yang kerjanya banyak, tapi nggak pernah dapat panggung. Peniti adalah pekerja diam-diam yang hasil kerjanya menyelamatkan situasi. Dia itu kayak guru honorer, tenaga medis di pelosok, sampai emak-emak yang nyiapin bekal tiap pagi—nggak viral, tapi tanpanya, dunia bisa amburadul.
Peniti ngajarin kita bahwa kontribusi nggak selalu butuh tepuk tangan. Kadang cukup tahu bahwa kita berguna, itu sudah cukup.
Dunia ini terlalu banyak berubah sampai-sampai kita lupa rasanya percaya sama sesuatu yang konsisten. Tapi peniti hadir sebagai simbol kecil bahwa tidak semua hal harus berubah demi dianggap maju. Kadang, perubahan terbaik adalah tetap menjadi versi terbaik dari dirimu yang paling awal.
Lihat peniti dari 1849 ke 2025. Hampir identik. Dan justru karena itu, dia jadi benda abadi. Banyak benda yang dulu revolusioner, sekarang tinggal nama. Tapi peniti? Masih dibeli, masih dipakai, dan masih dicari.
Dalam dunia yang sibuk membangun citra, peniti tetap setia jadi dirinya sendiri. Ia nggak bersaing jadi yang paling canggih. Ia nggak capek ngikutin tren. Ia hanya ingin nyatukan dua sisi yang robek—dan mungkin itu juga yang dibutuhkan dunia saat ini.
Jadi, kalau suatu hari kamu ngerasa kecil, nggak penting, dan nggak dianggap ingatlah peniti. Dia nggak pernah jadi headline, tapi selalu punya tempat di momen-momen darurat.
Penulis: Akhlil Fikri