
Pagi itu bukan hari besar. Bukan 17-an, bukan Maulid Nabi, bukan juga hari ulang tahun Republik ini. Tapi pagi itu, seseorang di sebelah rumah saya merasa dirinya adalah DJ kesayangan warga satu RT.
Lagu jedag-jedug mengaum dari speaker aktif yang volumenya kayak mau ngisi lapangan. Padahal yang dengerin cuma burung gereja dan orang-orang yang belum sempat buka mata dengan damai.
Masalahnya bukan cuma di musik. Tapi di waktu, konteks, dan nyawaku yang belum sepenuhnya kembali ke raga. Saya baru masuk kamar jam 3 pagi, habis lembur. Pekerja lepas, bos. Jam kerjanya ngambang kayak cinta yang nggak pasti.
Baru juga merem, peluk bantal, nyaris masuk mimpi level dua, tiba-tiba…
Jedag-jedug! DUAR DUAR DUAR!
Saya kira ada hajatan. Ternyata enggak.
Saya kira ada syukuran. Juga tidak.
Yang ada hanyalah seorang warga yang mungkin terlalu bahagia bangun pagi dan ingin mengabarkan euforianya lewat dentuman nada.
Saya bukan orang yang anti musik.
Tapi telinga ini punya kapasitas.
Dan tidur saya bukan bioskop yang harus disambut opening song.
Pagi-pagi yang seharusnya hening, jadi berubah jadi latihan marching band.
Speaker aktifnya mungkin bagus, hadiah arisan, atau beli di e-commerce waktu Harbolnas. Tapi empati sosialnya perlu di-install versi terbaru.
Saya paham, hidup bertetangga itu rumit.
Ada yang bangun pagi buat olahraga.
Ada yang masak subuh-subuh demi anak sekolah.
Tapi juga ada yang baru rebahan jam 3 karena kerjaannya nggak bisa dilakuin sebelum dunia sepi.
Tetangga saya mungkin nggak tahu,
bahwa tidur di pagi hari bukan dosa.
Dan membangunkan orang pakai volume 100 itu bukan pahala.
Kalau dia merasa bahagia, ya bagus.
Tapi bahagia itu tidak harus dibagi lewat dentuman speaker. Kadang cukup senyum.
Atau kalau mau, kasih kue. Jangan kasih konser yang suara keras dari speakernya menembus dinding kamar tetangga.
Saya tidak menuntut banyak.
Tidak minta sunyi macam perpustakaan nasional.
Saya cuma minta: kalau mau nyetel musik, ingat bahwa kanan kiri juga manusia.
Musik itu hak.
Tapi hak orang lain untuk tidur juga tidak kalah mulia.
Speaker bisa dibeli.
Bass bisa ditambah.
Tapi tetangga yang ngerti waktu dan tempat itu susah dicari.
Maka wahai pemilik speaker aktif,
kalau kau merasa hidupmu sepi dan butuh hiburan, silakan.
Tapi jangan paksa kami jadi penonton konser yang tak kami minta.
Dan kalau niatnya mau bikin konser, tolong kasih undangan dulu.
Biar kami bisa siapin earplug, atau minimal niat ikhlas menerima takdir.
Penulis: Ikibo
Lembur menaruh harapan, rebahan penuh perjuangan, dan menghindari pagi dengan volume berlebihan.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.