
Sebagai rakyat jelata yang kadang nongkrong sambil ngopi di warung Indomie pojokan gang, saya sering banget liat video-video sinematik di Facebook, TikTok, Reels, atau YouTube. Ada yang ngerekam sunrise di gunung, sunset di pantai, bahkan jalanan desa yang asri lengkap sama anak kecil main bola di halaman rumah tetangga. Estetik, sih. Tapi yang bikin saya elus dada dan sesekali pengen ngelempar sendal swallow adalah: “copyrighted content, do not repost without permission.”
Weh, weh, weh. Copyright katanya, Bang. Tapi itu rumah warga siapa yang masuk frame? Udah izin belum?
Banyak dari konten kreator zaman now (baca: sok estetik, dikit-dikit pake filter “warm vintage”) yang merasa karyanya sangat orisinal dan layak diberi watermark, padahal isinya rumah orang, motor bebek yang lagi diparkir, bahkan nenek-nenek yang lagi nyapu halaman. Lah, yang punya rumah dapet royalti, kagak?
Analoginya gini deh: lo masuk ke kampung orang, motret pemandangan dari ujung gang, terus rumah-rumah warga nongol di frame. Habis itu lo upload dan klaim itu sebagai karya sinematik pribadi. Kalo kayak gini, kita semua juga bisa jadi “seniman estetik” lah. Tinggal rekam halaman rumah tetangga, kasih lagu lo-fi, upload, dan boom! Tiba-tiba udah jadi “content creator”.
Padahal, kalau kita pakai kacamata hukum dan etika (yang biasanya dilipet taruh saku sama para konten kreator), lokasi umum yang juga mencakup properti pribadi seperti rumah warga, ya… technically itu bukan milik lo, Bang. Rumah itu bukan properti publik. Jadi, kalau muka atau properti orang lain masuk dalam frame dan lo jadiin komoditas untuk cuan atau konten, itu harusnya ada izin. Bukan malah sok-sokan pasang watermark.
Saya jadi inget satu waktu, temen saya upload video cinematic drone di desa saya sendiri. Rumah kakek saya yang masih pakai seng bolong kelihatan jelas. Saya tanya, “Bro, lo minta izin kakek gua gak?” Jawabannya: “Lah, kan cuma rumah. Lagian gua udah kasih watermark.” La ilaha illallah. Jadi watermark tuh semacam “izin semesta” ya? Luar biasa…
Lucunya, ketika orang lain repost videonya (yang isinya rumah warga juga), dia ngamuk. Katanya, “Plagiat konten gue! Gak punya etika banget!” Hah? Lah lo sendiri bikin konten pake rumah warga tanpa izin, terus baper pas kontennya direpost orang? Sungguh mahkluk paling absurd setelah orang yang makan pizza tapi buang kejunya.
Bukan berarti kita gak boleh bikin konten di tempat umum. Silakan. Mau sunrise, sunset, sampe daun jatuh pun bisa lo syuting. Tapi ya kalau isinya elemen milik orang lain, apalagi properti pribadi kayak rumah, motor, bahkan orangnya langsung — masa iya gak perlu etika? Jangan mentang-mentang zaman digital, semua bisa lo klaim asal bisa diedit pake CapCut.
Bahkan beberapa negara punya aturan ketat soal ini. Di Eropa misalnya, kalau properti pribadi nongol dalam karya komersial, wajib ada izin tertulis. Tapi di Indonesia, budaya “yang penting estetik dulu, urusan belakangan” masih jadi agama mayoritas kedua setelah rebahan.
Ironisnya, yang paling sering marah-marah soal hak cipta justru yang paling rajin nyolong visual warga. Mau dapet engagement, tapi lupa tanggung jawab etis. Mau viral, tapi ogah ribet minta izin. Ini kayak pengen punya pacar setia tapi diri sendiri masih suka scroll mantan di tengah malam.
Kalau semua yang muncul dalam frame lo kasih watermark tapi gak ada izin dari pemilik asli objek visualnya, ya itu bukan karya orisinal. Itu lebih mirip kayak warteg yang ngaku masakan rumahan, padahal semua dari catering.
Penulis: Bintang Prasetyo
Hobi: Ngopi sambil ngintip komen netizen + koleksi meme absurd
Disclaimer: Tulisan ini merupakan kiriman dari penulis atau pembaca Kutipan. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kutipan telah menyunting seperlunya agar sesuai dengan gaya khas media.