
KUTIPAN – Di tengah dunia fashion yang makin riuh sama baju-baju fast fashion berlabel “Korean look” dan “minimalist aesthetic”, ada yang bergerak diam-diam tapi pasti dari Kepulauan Riau. Bukan sekadar catwalk, tapi wastra lokal—alias kain tradisional—sedang bersiap tampil ke pentas nasional bahkan internasional. Dan semua itu diawali dari satu tempat: Gedung Dekranasda Kepri, Tanjungpinang, Selasa (20/5) kemarin.
Di sinilah Ketua Dekranasda Kepri, Hj. Dewi Kumalasari Ansar, resmi membuka Kick Off Program Inkubasi Wastra Tahun 2025. Program hasil keroyokan Dekranasda Kepri bareng Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kepri ini bukan sekadar pelatihan tempelan buat checklist program kerja, tapi betulan dijalankan dengan niat penuh. Dan, yes, dengan peserta pilihan dari berbagai daerah di Kepri.
“Pelatihan ini membuka wawasan para peserta tentang tren fesyen global dan strategi pemasaran yang efektif, khususnya untuk menembus pasar ekspor,” ujar Dewi Ansar dalam sambutannya yang terdengar serius tapi mengandung harapan setinggi gunung.
Garis bawah: wastra Kepri nggak mau lagi cuma jadi baju pesta pernikahan atau oleh-oleh dari tanjakan pelabuhan. Sekarang mulai disulap jadi blazer, jas, celana, bahkan aksesoris kekinian semacam tas dan topi. Bayangin batik atau tenun lokal, tapi dibikin kayak koleksi runway New York Fashion Week. Mantap, kan?
Tapi ya, namanya juga hidup, semua ada tantangannya.
“Desain yang menarik harus didukung oleh hasil produksi yang rapi dan berstandar tinggi. Oleh karena itu, program ini sangat penting dalam meningkatkan kemampuan dan daya saing para pelaku industri kreatif kita,” tegas Dewi Ansar, seperti orang tua yang bilang “boleh gaya asal rapi.”
Yang bikin menarik, menurut Dewi, wastra itu sekarang mulai diminati Gen Z. Cuma ya itu, anak muda zaman sekarang maunya yang “unik, berkelas, dan Instagramable”, jadi pengrajin kudu kreatif sekaligus sigap adaptasi.
Nah, dari pihak Bank Indonesia, ternyata mereka bukan cuma jago ngurus inflasi dan BI rate. Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kepri, Rony Widijarto, program ini adalah bentuk cinta nyata BI buat UMKM lokal.
“Bank Indonesia tidak hanya fokus pada stabilitas makroekonomi, tetapi juga memberikan perhatian besar terhadap penguatan UMKM, terutama yang mendukung pelestarian budaya dan penguatan ekonomi lokal,” kata Rony, yang diam-diam punya passion di sektor kreatif. Mungkin.
Ia menambahkan, tantangan global justru bikin produk wastra punya kesempatan naik kelas. Soalnya, banyak orang mulai ogah beli baju yang bikinnya nyiksa buruh dan merusak lingkungan.
“Melalui pelatihan ini, kami ingin UMKM Kepri tidak hanya unggul dari sisi kreativitas desain, tetapi juga kuat dalam aspek produksi dan strategi pemasaran, sehingga mampu bersaing dalam event nasional hingga internasional,” tambahnya. Niatnya sih biar pengrajin Kepri bisa punya slot di Paris Fashion Week, bukan cuma di bazar kelurahan.
Sebagai informasi tambahan yang agak penting tapi biasanya dilewati, pelatihan ini diikuti oleh sekitar 25 peserta yang bakal digembleng dalam dua kelas: desain dan produksi. Mereka nggak belajar sendiri, karena akan ditemani mentor berpengalaman. Plus, semua bahan bakunya pakai tekstil tradisional Kepri—jadi dari lokal, oleh lokal, untuk lokal dan global.
Acara ini juga dihadiri tokoh-tokoh daerah, termasuk Kadisperindag Kepri Aries Fhariandi, Kadis UMKM Riki Rionaldi, Kadispar Guntur Sakti, dan perwakilan dari Kemenkumham. Termasuk Wignyo Rahadi, narasumber yang dikenal sebagai desainer nyeni tapi juga ngasih ilmu yang bisa dipraktikkan.
Untuk informasi beragam lainnya ikuti kami di medsos:
https://www.facebook.com/linggapikiranrakyat/
https://www.facebook.com/kutipan.dotco/
Editor: Fikri Artikel ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan Kutipan, tanpa mengurangi substansi informasi.