
KUTIPAN – Kalau Anda lewat kawasan Jalan WR Supratman dan Ganet, Kecamatan Tanjungpinang Timur, kemarin Selasa (6/5/2025), barangkali akan menemukan pemandangan yang cukup dramatis: petugas Satpol PP sedang membongkar lima unit kios dan lapak pedagang kaki lima (PKL). Bukan karena iseng atau lagi mood bersih-bersih, tapi karena lapak-lapak itu terbengkalai pasca-Ramadan.
Ya, setelah Ramadan usai, beberapa kios yang dulunya hidup—jadi tempat jualan gorengan, kurma, atau baju koko KW—sekarang malah tinggal rangka. Lebih mirip bangunan horor mini yang berdiri di tengah lalu lintas.
“Karena posisinya di simpang jalan, jika dibiarkan bisa mengganggu arus kendaraan dan membahayakan pengendara,” kata Irwan Yakub, Kepala Bidang Trantib Satpol PP Kota Tanjungpinang. Dan di titik ini, kita mulai paham: bukan cuma soal ketertiban, tapi juga keselamatan.
Penertiban ini tidak sendirian. Timnya rame-rame: ada dari Kecamatan Tanjungpinang Timur, Kelurahan Pinang Kencana, sampai Kelurahan Air Raja. Mereka bahu-membahu, semangat membongkar demi kota yang katanya mau jadi “lebih indah dan aman”.
Kepala Satpol PP Kota Tanjungpinang, Abdul Kadir Ibrahim—yang akrab dipanggil Akib—jelas banget dalam pernyataannya. “Ini sejalan dengan visi misi Wali Kota Lis Darmansyah dan Wakil Wali Kota Raja Ariza. Tanjungpinang terus berbenah agar menjadi kota yang lebih indah dan aman,” ujarnya.
Warga sih bisa saja bertanya-tanya, “Lho, ini lapak ditinggal doang, kok langsung dibongkar?” Tapi bagi Akib, ini bukan sekadar soal bangunan kecil. Ini soal Perda. Tepatnya, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Ketertiban Umum. Bunyinya? Intinya: jangan bangun lapak sembarangan, apalagi di tempat yang bikin orang bisa nyungsep waktu naik motor.
Akib juga sempat memberi imbauan—dengan nada cukup bijak—agar masyarakat tidak asal mendirikan lapak, terutama di zona-zona yang memang udah ‘rawan kecelakaan’. Bukan karena Satpol PP nggak punya kerjaan lain, tapi karena tugas mereka memang menjaga ruang publik tetap manusiawi.
Lucunya, fenomena kios dadakan ini bukan cuma di Tanjungpinang. Di banyak kota, PKL musiman selalu muncul jelang Ramadan, Lebaran, tahun baru, dan seterusnya. Setelah sepi, ditinggal. Tapi bedanya, Tanjungpinang kayaknya serius nih membereskan “warisan musiman” ini.
Buat warga yang mungkin masih mikir “kan itu cuma papan triplek dan terpal, masak sih bahaya?”, ya bolehlah refleksi sejenak. Bayangkan Anda lagi naik motor, tiba-tiba harus belok menghindari kios tak bertuan yang nyempil di ujung tikungan. Kalau bukan jatuh, ya minimal ngedumel.
Petugas Satpol PP pun nggak main-main. Proses penertiban dilakukan dengan pembongkaran langsung. Bangunan-bangunan yang sudah jadi fosil Ramadan itu dibongkar, barang-barangnya diangkut, dan diamankan di kantor Satpol PP. Dalam konteks ini, ‘diamankan’ bukan berarti dikembalikan, ya. Lebih ke: “diarsipkan”.
Apakah ini artinya Satpol PP kejam? Tidak juga. Mereka hanya menegakkan aturan. Apakah ini berarti pemerintah benci PKL? Juga tidak. Tapi, kita perlu tanya juga: masa iya kita nyaman tinggal di kota yang sudut-sudut jalannya penuh lapak usang yang tak terurus?
Kalau Tanjungpinang memang pengin tampil estetik kayak kota-kota di Pinterest, ya langkah-langkah kecil seperti ini perlu diapresiasi. Tapi tentu, kita juga butuh solusi jangka panjang. Lapak boleh dibongkar, tapi ruang rezeki jangan sampai ikut hilang. Kuncinya: dialog, bukan penggusuran sepihak.
Laporan ini merupakan rilis/laporan wartawan yang telah dikemas ulang dengan gaya penulisan kutipan