
KUTIPAN – Ada yang beda di perairan Desa Bakong, Kabupaten Lingga, Kamis kemarin. Bukan karena langitnya lebih cerah, atau ombaknya lebih tenang. Tapi karena ada sosok berseragam polisi yang ikut nyemplung ke laut bukan untuk patroli, tapi buat bantu warga nyusun kayu-kayu ditengah laut buat kelong.
Iya, kelong. Alat tangkap ikan teri—alias bilis—yang biasa dibangun oleh warga pesisir di laut. Bripka Samsurizal, Kapolsubsektor Desa Bakong, nggak datang bawa toa, apalagi rompi anti peluru. Yang dibawa: semangat gotong royong. Dalam suasana yang jauh dari formalitas, beliau bahu-membahu dengan warga mengikat kayu-kayu untuk membuat kelong, sebuah warisan budaya yang telah lama menjadi bagian dari denyut hidup masyarakat pesisir Lingga.
“Kami hadir bukan hanya untuk menjaga keamanan, tapi juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, tumbuh dan bergerak bersama, membangun masa depan yang lebih baik,” kata Bripka Samsurizal. Kutipan yang bisa disematkan di baliho, tapi lebih baik lagi kalau diwujudkan seperti yang dilakukan beliau hari itu.
Yang menarik, kegiatan ini nggak dibuat-buat. Bukan acara yang dirancang untuk headline, apalagi buat konten reels. Tapi ya begitulah, kadang yang tulus itu justru punya daya tarik paling kuat. Apalagi di zaman di mana aksi baik sering kalah saing sama video prank.
Kapolres Lingga, AKBP Pahala Martua Nababan, lewat Kapolsek Singkep Barat, IPTU Henry Gunawan, juga kasih angin segar lewat dukungan institusional. “Kami mendukung penuh setiap inisiatif yang memperkuat kedekatan antara Polri dan masyarakat. Kegiatan ini membuktikan bahwa kehadiran polisi bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai mitra yang hadir dalam setiap aspek kehidupan sosial masyarakat,” ujarnya.
Pernyataan yang biasanya terdengar normatif, tapi jadi masuk akal setelah lihat aksi nyata di lapangan. Kelong yang dibangun bukan sekadar jebakan ikan. Ia juga perangkap nostalgia. Di tiap simpul talinya, ada cerita tentang bagaimana leluhur hidup selaras dengan laut. Tentang bagaimana masyarakat dulu dan sekarang masih percaya bahwa harmoni lebih penting daripada hasil besar yang instan.
Kalau dipikir-pikir, kelong ini bisa jadi simbol perlawanan terhadap pendekatan modern yang kadang lupa jati diri. Di saat teknologi tangkap makin canggih tapi mengancam ekosistem, kelong hadir dengan filosofi pelan tapi pasti, ramah tapi efektif. Sama seperti pendekatan Bripka Samsurizal—nggak grusa-grusu, tapi menyatu.
Dan di tengah semua itu, gotong royong warga dan polisi jadi semacam oasis. Bukti bahwa sinergi itu bukan cuma kata dalam slide presentasi. Tapi bisa nyata, bisa dikerjakan, asal niatnya benar dan taktiknya luwes.
Tradisi memang kadang dipandang sebelah mata. Tapi ia kuat. Ia bertahan bukan karena modal besar, tapi karena rasa memiliki. Dan hari itu di Desa Bakong, rasa itu hidup kembali—bukan karena proyek pemerintah, tapi karena polisi yang nggak segan turun tangan, bahkan kalau harus basah-basahan.
Mungkin sudah saatnya melihat polisi bukan hanya dari pangkat dan peluitnya. Tapi dari seberapa dekat ia dengan kehidupan masyarakat yang dilayani. Karena hukum itu harus adil, tapi kehadiran yang nyata jauh lebih membumi. Dan seperti kelong yang berdiri di atas laut, hubungan baik antara warga dan aparat juga butuh fondasi yang kokoh: gotong royong, kepercayaan, dan sedikit semangat kerja bakti.
Laporan: Yuanda Editor: Fikri Laporan wartawan/rilis yang telah dipoles dengan gaya media kutipan—santai biar nggak kaku kayak kanebo kering. Kalau mau kirim tulisan, bisa langsung ke penuliskutipandotco@gmail.com.